bahasa dan penalaran - JAMAL PASSALOWONGI -->

bahasa dan penalaran

Berpikir adalah daya yang paling utama dan merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dengan makhluk lain, misalnya hewan. Manusia dapat ber­pikir karena mempunyai bahasa sedangkan hewan tidak mempunyai bahasa, se­hing­ga he­wan tidak dapat berpikir. Dengan bahasa, manusia dapat memberikan na­­­ma segala se­su­atu yang pernah diamati atau dialami, baik yang tampak maupun yang tidak tam­pak. Semua benda, nama sifat, atau pekerjaan, serta hal lain yang abs­trak dapat dibe­rikan na­ma. Nama-nama tersebut tersimpan di dalam memori dan menjadi pe­nga­­la­man atau tanggapan-tanggapan, kemudian diolah dan di­pi­kir­kan menjadi pe­ngertian. Jadi, dengan penguasaan terhadap bahasa, maka manu­sia dapat berpikir, tanpa bahasa manusia tidak dapat berpikir.

Bahasa merupakan produk budaya yang berharga dari generasi ke generasi be­ri­kutnya. Berbeda dengan hasil budaya yang lain, bahasa adalah hasil budaya yang hidup dan berkembang yang harus dipelajari. Seorang anak manusia yang ti­dak per­nah diajar berbicara, maka dia tidak akan pernah memiliki kemampuan ber­­­bahasa. Contoh konkret tentang hal ini dapat ditemukan pada anak-anak yang sejak bayi dipelihara oleh hewan seperti monyet atau srigala. Anak manusia se­perti itu, bu­kan hanya tidak dapat berbicara seperti manusia, melainkan juga tidak memi­liki ke­mam­puan berpikir sebagaimana halnya manusia biasa.

Chauchard (Moore, 1986:131) seorang peneliti penggunaan bahasa pa­da he­wan dan manusia, menemukan bahwa, “Pada diri manusia ada suatu kemam­puan otak yang kodrati untuk melaksanakan refleksi dan kebebasan, namun ke­mam­­pu­an kod­­­rati itu hanya akan berkembang apabila dibudayakan melalui ling­kungan.” Bah­­kan seorang peneliti lain Teilhard (Moore, 1986:135) me­narik ke­sim­­pulan lebih ekstrim dari hasil penyelidikannya, Teilhard menyatakan bahwa “Apa­bila se­orang anak tidak meng­­adakan kontak dengan manusia lain, ma­ka pada da­sar­nya dia bu­kan manusia, bentuknya memang manusia, namun tidak bermar­tabat manusia”.

Hasil penelitian kedua ahli bahasa tersebut di atas menunjukkan bahwa be­tapa eratnya hubungan antara bahasa dengan pikiran. Bahasa tidak hanya sebatas seba­gai sarana komunikasi antarmanusia saja, melainkan juga bahasa memberikan kesiap­siagaan intelektual bagi pencapaian kehidupan dan kesejahteraan sosial ma­nusia. Ke­siapsiagaan intelektual manusia akan menjadi titik tolak bagi perkem­bangan ilmu pe­nge­tahuan, dan kesejahteraan sosial pada kehidupan masyarakat da­­lam lingkup kebu­dayaannya (Moore, 1986:142).

Kemampuan berpikir merupakan bekal yang paling mendasar bagi ma­nu­sia untuk memper­tahankan dan mengembangkan kelangsungan hidupnya di masa yang akan da­tang.Yang ter­­­­penting adalah bahwa dengan bahasa dan pikiran, ma­­nusia dapat me­ning­katkan harkat dan martabat hidupnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mu­lia. Jadi, mempelajari ba­ha­sa untuk dipergu­na­kan dalam kehidup­an sehari-hari meru­pakan tugas utama manu­sia, sebab dengan bahasa manusia da­pat berpikir. Tuhan mengangkat derajat manusia lebih tinggi dari makhluk cipta­annya yang lain, pertama-tama karena melalui bahasa. Hal ini dinya­takan secara jelas dan tegas dalam kitab suci Al’Quran surat Al Ba­qarah ayat 31 yang berbunyi:

“Dan Allah mengajarkan ke­pada Nabi Adam semua nama benda, kemu­dian diajukan-Nya kepada Ma­laikat. Kemudian Allah ber­firman, ‘Sebut­kan­lah kepa­da-Ku nama-nama ben­da itu jika kamu memang benar’”. Bahkan malaikat, makhluk cip­taan Tuhan yang tidak pernah berbuat dosa tidak mampu menyebutkan nama-nama benda itu, sedangkan Nabi Adam mampu menyebutkan nama-nama benda tersebut seperti yang diperintah­kan Allah (Mustanzir, 1988:23).

Dalam kehidupan sehari-hari sejak kecil manusia sudah terbiasa berpikir, misalnya pada saat mendengar tuturan orang lain, berbicara, membaca, atau me­nu­­lis, bahkan berdialog dengan diri sendiri manusia juga senantiasa berpikir. Ka­rena kese­ringan itulah, maka kegiatan berpikir sudah dianggap sebagai pekerjaan yang mudah. Namun apabila diselidiki lebih lanjut, ternyata kegiatan berpikir itu sangat rumit, se­bab banyak bentuk berpikir yang tampaknya tidak diaplikasikan se­­­cara cermat dan sis­tematis. Dalam praktiknya, suatu pendapat yang dikemu­ka­kan tidak dapat diterima dengan baik oleh pendengar atau pembaca, karena su­lit mengajukan alasan yang te­pat, atau hanya karena alur berpikir yang dikemu­kakan tidak sistematis.

Kesadaran akan adanya kesulitan semacam itulah yang mendorong orang untuk memikirkan cara berpikir yang baik, sistematis, dan logis, serta meneliti asas-asas hukum yang dapat mengatur pemikiran manusia agar dapat mencapai ke­­­benaran. Dengan dasar itulah lahir sebuah ilmu yang disebut logika yang dipe­lopori oleh Aristoteles (348 – 322 SM) dengan bukunya yang terkenal To Orga­non (Long dan Garigliano, 199). Logika atau “ilmu penalaran” mempelajari atur­an-­aturan yang ha­rus diperhatikan sehingga manusia dapat berpikir dengan tepat, teliti, dan teratur da­lam mencapai kebenaran.

Dua pemikir kenamaan, Cicero dari zaman Romawi dan Shakespeare dari Inggris menghubungkan penalaran dengan kebijaksanaan dan intelektualitas sese­orang. Cicero mengatakan, “Orang bijaksana diperintah oleh penalarannya, yang ku­­rang berpengetahuan diperintah oleh pengalaman, yang dungu diperintah oleh ke­bu­tuhan, dan hewan diperintah oleh alam.” Sedangkan Shakespeare me­nga­­ta­kan bahwa Penalaran adalah mata intelektual kita”. Seperti halnya mata jasma­ni­ah untuk dapat melihat jauh dan jelas, mata intelektual tersebut memerlukan ca­ha­ya pengetahuan dan pengalaman. Penalaran yang kuat akan menimbulkan kegi­at­an yang hebat (Effendi, 2000:104).

Di dalam proses penalaran dituntut kemampuan pengamatan yang cermat, kesanggupan melihat hubungan-hubungan, atau kesalahan-kesalahan yang terselu­bung. Selain itu, juga dituntut kesanggupan untuk dapat melihat segala sesuatu yang tidak terkait dengan logika, misalnya prasangka-prasangka, pembutaan oleh perasaan pri­ba­di atau kelompok/golongan. Orang biasanya menganggap benar apa yang disukai atau diinginkannya, sebagaimana yang diungkapkan Lamb (Pirozzi, 2003:27) bahwa “a bundle of prejudices made up of likings and dislikings”. Pera­sa­an dan pra­sangka dapat dan bahkan sering mengelabui dan mengaburkan pan­dang­­an seseorang dalam mengambil kesimpulan.

Penalaran merupakan proses berpikir dengan mendasarkan diri pada hukum atau kaidah berpikir cermat. Hukum atau kaidah berpikir cermat tampak pada penggunaan pre­mis yang benar dan dalam penarikan kesimpulan yang benar pula. Hukum penarikan ke­simpul­an yang sahih dirumuskan sebagai berikut.

Ø Apabila premisnya benar, maka kesimpulan penalarannya juga benar, sebab ke­simpulan itu terkandung di dalam premis.

Ø Apabila kesimpulan penalarannya salah, maka premisnya juga salah, namun jika premisnya salah, belum tentu kesimpulannya salah.

Ø Apabila premisnya salah, kesimpulan penalaran dapat benar dan juga salah.

Ø Apabila kesimpulannya benar, maka premis penalarannya dapat benar, dan dapat pula salah (Long dan Garigliano, 1994).

Bagi ilmu pengetahuan, logika atau ilmu menalar merupakan keharusan. Ti­dak ada ilmu pengetahuan yang tidak didasarkan pada penalaran. Ilmu penge­ta­huan tan­pa penalaran tidak akan pernah mencapai kebenaran ilmiah. Aristoteles menyatakan bahwa “Penalaran merupakan alat bagi se­luruh il­mu pe­­­­ngetahuan, si­apa yang mempelajari penalaran dengan benar, berarti te­lah meng­­­genggam master key untuk membuka semua pintu masuk ke berbagai di­sip­lin il­mu pengetahuan” (Diestler, 1994:54).

Menurut Kohnstamm (Warnick dan Inch, 1994:62) “Pada hakikatnya be­l­ajar ber­nalar berarti belajar mengenal cara menggolongkan peng­a­­­la­m­­an atau tang­gap­an yang ada dalam jiwa, sehingga pengalaman atau tang­gapan itu da­pat ter­­susun dengan baik sehingga mudah dipahami atau dikendalikan”. Sejalan de­ngan pan­dang­an Kohnstamm, Selz dan kawan-kawannya menyatakan bahwa pe­­na­laran menyangkut kecakapan menggunakan metode-metode untuk me­nye­le­sai­kan ma­sa­lah yang dihadapi, dan metode itu dapat diajarkan kepada orang lain.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

1 Response to "bahasa dan penalaran"

  1. Hikmah Aulia Haruna:
    Mempunyai=memunyai
    Ekstrim=ekstrem
    srigala=serigala
    Al'Quran=Alquran
    Penggunaan tanda kutip pada kalimat (‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang benar’”.)

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel