Kisah Meompalo Karellae - JAMAL PASSALOWONGI -->

Kisah Meompalo Karellae



Al kisah disebutkan seekor kucing memiliki bulu tiga warna yaitu hitam, putih, dan coklat. Kucing ini berkisah mengenang dirinya ketika mengembara bersama Dewi Padi Sang Hiang Sri, ketika ia tinggal di Tempe menetap di Wage, majikannya sangat sabar dan dermawan meskipun ia melarikan ikan, Ia tidak pernah diusik.
Setelah hidupnya terhina tidak dihiraukan dewata, Ia dibuang di Soppeng mulailah penderitaannya, ketika mengambil ikan Ia dipukuli, berlarilah ia sampai di Maiwa di sana pun perilakunya tidak diterima, tidak ada yang memberikannya ikan. Karena merasa terancam larilah Meompalo Karellae ke hadapan Itunek Datu Sang Hiang Sri.
Melihat penderitaan Meompalo Karellae dan cara orang-orang memperlakukannya maka Sang Hiang Sri memutuskan  untuk meninggalkan Maiwa. Kata Sang Hiang Sri “Janganlah kita tinggal merana di tempat derita ini, mari kita mengembara, Aku tak betah tinggal dipatuk ayam, dikuliti tikus, karena hanya si kucing diharapkan menjaga kita meronda siang malam menangkap tikus-tikus sehingga tak berderai bulirku”. Dimulailah kisah perjalanan Sang Hiang Sri bersama semua jenis padi-padian dan Meompalo Karellae.
Dalam perjalanan, mereka melihat banyak perilaku manusia. Ketika mereka tiba di rumah Sulewatang Maiwa, Sang Hiang Sri sedih melihat anak-anak makan sambil menghambur nasi dan tidak memungutnya, waktu menyaji ibunya marah-marah, anak-anaknya yang ingin makan merengek, keluar ingusnya, dan melemparkan piring dan berserakanlah nasi di sana-sini. Melihat hal tersebut maka berangkatlah sang Hiang Sri berserta rombongannya meninggalkan Maiwa, kata Sang Hiang Sri “Saya tidak mau menderita di kampung Maiwa, tak kusetujui perbuatannya tak kupuji kelakuannya, marilah kita berangkat mencari perangai yang baik”
Perjalanan Datu sang Hiang Sri bersama Meompalo Karellae, telah tiba di Lakemmek, tetapi apa yang mereka saksikan banyak padi sorgum, jagung dan semua sekoi menangis ingin meninggalkan kampung, ternyata orang kampung hanya membiarkan mereka tersiksa dipatuk ayam, dimakan tikus. Kata Sang Hiang Sri “Kita tidak akan menetap di kampung Lakemmek mereka suka sekali perbuatan yang tercela, disumpahi anak-anaknya, tak dihiraukan keluarganya tak ia sekata orang seisi rumah”.
Sampailah rombongan Sang Hiang Sri di kampung Kessi sebelum masuk Soppeng, tetapi mereka juga tidak tenang karena orang kampung rebut bertengkar pada permulaan gelap menjelang waktu matahari terbenam, berebutan memasak, memperebutkan alat masak dan lain sebagainya, semua ribut tidak tenang. Melihat perilaku tersebut Sang Hiang Sri beserta rombongan pun berangkat menuju daerah berikutnya yakni Mangkoso, sebelumnya mereka singgah di Kampung Wettu. Tetapi mereka pun mendapati orang-orang di kampung itu naik rumah tidak mencuci kaki, mengusir meompalo, dan melesung padinya sambil mengomel-ngomel sehingga berserakan dan dipatuk ayam.
Ketidaksenangan Sang Hiang Sri pada perilaku tersebut menyebabkan mereka kemudian berangkat lagi ke daerah lainnya. Daerah selanjutnya adalah kampung Lisu, Sang Hiang Sri sudah berharap akan menetap di tempat tersebut, akan tetapi melihat perangai orang dan Matoa di Lisu dia kembali mengurungkan niatnya, Matoa di Lisu tidak henti-hentinya mengomel dalam hatinya tentang bibit yang ditanam apakah akan tumbuh atau tidak, ia memikirkan biaya yang telah dikeluarkan untuk bibit padinya, juga pada pesta pernikahan, semua orang-orang yang tidak kebagian nasi mengomel tiada henti, orang-orang kampung juga bertengkar dan tidak rukun dalam menggarap sawahnya, Sang Hiang Sri meninggalkan kampung Lisu dengan hati yang sedih melihat peristiwa itu.
Perjalanan panjang Sang Hiang Sri dan rombongan padi-padian beserta Meompalo Karellae berakhir di kampung Barru, orang-orang barru memperlakukan sang Hiang Sri dan rombongannya sebagaimana mestinya. Di daerah ini Meompalo Karellae tidak diganggu, orang-orang bekerja sama, berbicara yang baik,  Sang Hiang Sri sangat senang dan berniat tinggal di kampung Barru, akan tetapi kesedihannya terhadap perilaku manusia-manusia sebelumnya menyebabkan Beliau ke langit bertemu Opu Batara Mangkauk yang melahirkannya.
Perjalanannya ke langit untuk mengadu tentang kehidupan manusia yang sudah tidak memerdulikannya lagi, sehingga Ia meminta untuk tinggal kembali di langit, negeri para Dewa dan Dewi. Namun, Opu Batara menasihati Sang Hiang Sri, bahwa Dia ditakdirkan untuk menghuni bumi sebagai rahmat pada seluruh alam.
Opu Batara mengingatkan Sang Hiang Sri untuk memberikan kemakmuran pada dunia;
ncuku mua ntEri btr CjieaGi dtun sGia sEri nainpn mkEd kEru jiw sumGEmu anea ritu ewtunE anea sGia sEri ewkduagko pel mol llE kcipErE mumealo ewkdua eRwE primE ritPu mutm ri llE kti ap tEwepajEtono coko mnai ri lGi riprRu ri btr kuano ritu ri lino mkurE tEera Pij mEpE tiniao tEpj ap sikua emmEGi toto mrPu rPumu ripnuru ri linoea

Nacukukmua naterri Batara ncajiang eng i datunna Sangiang Serri na inappana makkeda, kuru sumangekmu anak eritu Etunek anak e Sangiang Serri wekaduagao pale, mola laleng kacipireng mumaelo wekkadua nrewek parimeng ritampu muttamak ri laleng kati apa tengwappeajengtono cokko mania ri langi riparanru ri Batara. Kuwano ritu ri Lino makkurek terreang npija meppe tinio teppaja apa sikua memengngi toto marampu-rampumu ripanurung ri lino e.”
Maka tunduk sambil menangis Opu Batara yang melahirkannya Datu Sang Hiang Sri, kemudian berkata kur semangatmu wahai anakku Sang Hiang Sri dua kalikah kiranya engkau melalui jalan sempit. Kau mau dua kali di kandungan, masuk ke dalam kandungan sebab tak mungkin juga jkau tinggal di atas langit dipelihara di Batara. Pergilah engkau ke dunia menetap menyebar keturunan menjadi makhluk selamanya sebab memang hanya demikian nasib kodratmu diturunkan di dunia.
Demikianlah akhirnya Sang Hiang Sri kemudian turun kembali ke dunia manusia, untuk memakmurkan dunia, menyebarkan keturunannya, dan menjadi rahmat bagi alam. Turunnya kembali Sang Hiang Sri, dibarengi dengan beberapa petuah kepada masyakat manusia, bahwa Dia akan tinggal di dunia asalkan manusia menuruti keinginannya.
Inilah ucapan Sang Hiang Sri agar padi dan semua tanaman dapat tumbuh dan berkembang di dunia ini: “ Engkau orang Barru, semua orang banyak dengarkanlah perkataanku, petuah yang ditinggalkan nenek Mangkaukku sebagai penangkal bagi tanaman jangan pula kau pisahkan lawar dan periukmu akan kering pada akhirnya benih yang engkau tanam, begitu pula saat benih dikemasi duduklah menghadap pelita berjaga-jaga padamalam hari, bersihkan hatimu, tutur sapamu, perangilah nafsumu, hindarilah godaan matamu, bendung desakan keinginanmu, awasi juga keseluruhan lintasan-lintasan hatimu pada perbuatan jahat semua yang terlarang, jauhilah larangan pantangan tanaman supaya engkau mujur tumbuh memekar benih yang kau tanam subur tak terhambat”. 
Kisah pengembaraan Meompalo Karellae dan Sang Hiang Sri telah menjadi mitos dalam kehidupan masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, muatan makna dalam kisah ini sangat dalam, sehingga pengungkapan makna-makna kisah ini dapat menjadi pelajaran untuk generasi muda saat ini

Berlangganan update artikel terbaru via email:

1 Response to "Kisah Meompalo Karellae"

  1. Oke. Daftar pustakanya dong!
    Sukses buat U
    Salama'ki Natopada Salama'...

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel