Pembacaan puisi secara Heuristik (Nyanyian Angsa: W.S. Rendra) - JAMAL PASSALOWONGI -->

Pembacaan puisi secara Heuristik (Nyanyian Angsa: W.S. Rendra)



oleh: Jamal Passalowongi
Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak sesuai dengan tata bahasa normatif, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif dengan sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotiks), namun belum memberikan makna sastra (significance).
Karya sastra terutama puisi ditulis secara sugestif, dan hubungan antara barisnya bersifat implisit. Hal tersebut terjadi karena puisi itu pada dasarnya hanya mengekspresikan inti gagasan. Oleh karena itu, hal-hal yang dianggap tidak perlu, tidaklah dimunculkan secara eksplisit. Ada awalan atau akhiran yang dihilangkan sehingga yang ada hanyalah kata intinya (dasarnya) saja, ada susunan kalimat yang dibalik, sehingga menimbulkan ketidakwajaran, namun ketidakwajaran tersebut tetap dibaca secara wajar. Dengan kata lain dalam pembacaan heuristik, bahasa sastra haruslah dinaturalisasikan menjadi bahasa bisaa (tata bahasa normatif). Dalam proses penaturalisasian ini, kata-kata yang tidak berawalan atau berakhiran diberi awalan dan akhiran, bahkan kalau perlu dapat ditambahkan atau mengganti kata-kata yang bersinonim untuk memperjelas hubungan makna antarkata atau antarbaitnya. Susunan kata yang terbalik atau terpenggal-penggal diubah kembali sesuai tata bahasa normatif.
Makna yang muncul pada pembacaan heuristik baru berdasarkan konvensi tata bahasa normatif, belum memberikan makna sastra yang sebenarnya. Oleh karena itu, karya sastra tersebut haruslah dibaca ulang (retroaktif) dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastra.
a.    Pembacaan Hermeneutik (Retroaktif)
Ada enam defenisi tentang hermeneutika. Dua di antaranya adalah heremeneutika diartikan sebagai ilmu pemahaman linguistik, dan hermeneutika sebagai sistem interpretasi yang digunakan manusia untuk meraih makna dibalik mitos dan simbol. Hermenutika merupakan proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang tampak kea rah makna yang terpendam (tersembunyi). Objek interpretasi berupa fokus dalam pengertian yang luas, yaitu berupa simbol dalam mimpi atau pun mitos dari simbol-simbol dalam masyarakat atau sastra. Hakikat hermenutik adalah menerangkan, sebagai cabang filologi bertugas menerangkan sebauh teks, yang memiliki dua cara kerja, yaitu mengerti menafsirkan, dan menerapkan, terutama teks-teks yang sukar dimengerti, misalnya puisi.
Untuk memberikan makna sastra pada puisi tersebut haruslah didasarkan pada konvensi sastra bahwa puisi itu adalah ekspresi tidak langsung yang penuh dengan kiasan-kiasan.
  1. Matriks, Model, dan Varian-varian             
            Secara teoretis puisi merupakan perkembangan dari matriks menjadi model dan ditransformasikan menjadi varian-varian. Dalam menganalisis karya sastra (puisi) matriks diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat sederhana.       
  1. Hipogram: Hubungan Intertekstual          
Untuk memberikan apresiasi atau pemaknaan yang penuh pada karya sastra, maka sebaiknya karya sastra tersebut disejajarkan dengan karya sastra lain yang menjadi hipogram atau latar belakang penciptaannya (Teeuw, 1983: 66). Pada dasarnya, sebuah karya sastra merupakan respons terhadap karya sastra yang lain. Respons itu dapat berupa perlawanan atau penerusan tradisi dari karya sastra sebelumnya.
Hipogram merupakan latar penciptaan karya sastra yang dapat berupa keadaan masyarakat, peristiwa dalam sejarah, atau alam dan kehidupan yang dialami sastrawan



NYANYIAN ANGSA
W.S. Rendra

(Saat)Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya
“Sudah dua minggu kamu berbaring (tak berdaya/lemah),
sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang (untuk dia-majikan rumah pelacuran-)
malahan padaku kamu berhutang.
Ini (pengeluaran) biaya melulu. Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu mesti pergi.(dari rumah pelacuran )”

(terlihat) Malaikat penjaga firdaus
(dengan) wajahnya (yang) tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku
maka darahku (terasa) terus beku.
Maria Zaitun namaku
pelacur yang sengsara
kurang cantik dan (sudah menjadi) agak tua)

(Pada) Jam dua belas siang hari (saat)
matahari terik di tengah langit.
(seperti) Tak ada angin. Tak ada mega (dilangit)
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran
tanpa koper. Tak ada lagi miliknya.
(semua) Teman-temannya membuang muka
sempoyongan ia berjalan
Badannya (semakin) demam
Sipilis membakar (sekujur) tubuhnya
Penuh borok di kelangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya
Matanya merah. Bibirnya kering
Gusinya berdarah (dan)
Sakit jantungnya kambuh pula

(lalu) Ia pergi kepada dokter
(sudah) Banyak pasien lebih dulu menunggu
Ia (kemudian) duduk di antara mereka.
Tiba-tiba (semua) orang-orang menyingkir
dan menutup hidung mereka
Ia meledak marah
tapi buru-buru juru rawat menariknya
Ia diberi giliran lebih dulu (tanpa mengantri)
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun, hutangmu sudah
banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya
“Sekarang uangmu (ada) berapa?”
“Tak ada”
Dokter geleng kepala dan (kemudian)
menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter
dan ia tak jadi memeriksa (Maria Zaitun)
Lalu ia berbisik kepada juru rawat
“Kasih ia injeksi vitamin C”
Dengan kaget juru rawat berbisik kembali
“Vitamin C? Dokter, paling tidak
ia perlu salvarsan!”
“Untuk apa? (kata si Dokter) Ia tak bisa bayar
dan lagi sudah jelas ia (sudah) hampir mati.
Kenapa harus dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negeri?”

(terlihat) Malaikat penjaga firdaus
wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar (sangat) ketakutan.
(terasa) Hilang rasa. (dan) Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka)

(pada) Jam satu siang
(ketika) matahari masih di puncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa (kenakan) sepatu.
(sehingga) aspal jalan yang jelek mutunya,
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan (kemudian) menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci
karena khawatir akan pencuri.
Ia menuju pastori dan menekan bel pintu.
Koster keluar dan berkata
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang
dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf, saya sakit. Ini perlu (ketemu Pastor).”
Koster meneliti (sekujur) tubuhnya yang kotor
dan berbau lalu berkata

“Asal (kamu) tinggal di luar,
kamu boleh tunggu.
Aku lihat (dulu), apa pastor mau terima kamu.
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan (menahan) kepanasan.
Ada satu jam
baru (kemudian) pastor datang kepadanya

Setelah mengorek sisa makanan dari giginya,
Ia nyalakan cerutu, lalu bertanya
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya
Selopnya dari kulit buaya
Maria Zaitun menjawabnya.
“(saya) Mau mengaku dosa.”
Tapi ini bukan (waktuny) jam bicara (mengaku dosa)
Ini waktu saya untuk berdoa.”
“Saya (sudah) mau mati”
“Kamu sakit?”
“Ya, saya kena rajasinga.”
Mendengar (kalimat) ini pastor mundur dua tindak
Mukanya mungkret (kaget)
Akhirnya, agak keder ia kembali bersuara
“Apa kamu –mm-- kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur, ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik?”
“Ya”
“Santo Petrus”
Tiga detik tanpa suara (semua diam)
Matahari terus menyala
Lalu pastor kembali bersuara
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda, tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan
dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal-usul dosa saya.
Yang nyata (sekarang) hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya (sangat) kalut. Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan (saat ini), atau apa saja
Untuk menemani jiwa saya (yang kalut)”.
Dan muka pastor menjadi merah padam (lalu)
Ia menuding Maria Zaitun
“Kamu galak seperti macan betina!
Barangkali kamu akan gila,
tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa!”

(terlihat) Malaikat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya (tetapi)
Tak bisa nangis, tak bisa bersuara
Maria Zaitun namaku,
Pelacur yang lapar dan dahaga)

(saat) Jam tiga siang
Matahari terus menyala
Dan angin tetap tak ada
Maria Zaitun bersijingkat (kepanasan)
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyeberang jalan,
ia kepleset kotoran anjing
Ia tak jatuh tapi darah keluar dari borok
di kelangkangnya dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
Ia berjalan sambil mengangkang

(Sampai) Di dekat pasar ia berhenti
Pandangnya berkunang-kunang
Napasnya pendek-pendek
Ia merasa lapar
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu, ia berjalan ke belakang satu restoran
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan
Kemudian ia bungkus hati-hati dengan daun pisang
Lalu berjalan menuju ke luar kota

(terlihat) Malaikat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku
Pelacur lemah, gemetar ketakutan

(saat) Jam empat siang
Seperti siput ia berjalan (tanpa tujuan)
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
Belum lagi dimakan
Keringat (sudah) bercucuran
Rambutnya jadi tipis
Mukanya (makin) kurus dan hijau
Seperti jeruk yang kering
Lalu jam lima
Ia sampai di luar kota
Jalan (sudah) tak lagi beraspal
tapi debu melulu
Ia memandang matahari
dan pelan berkata “bedebah!”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
Ia tinggalkan jalan raya
Dan berbelok masuk sawah
Berjalan di pematang

(terlihat) Malaikat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik, ia (lalu) tusukkan
Pedangnya (yang) perkasa
Di antara kelangkangku
Dengarkan Yang Mulia
Maria Zaitun namaku
Pelacur yang (sudah) kalah (dan)
Pelacur terhina)

(Saat) Jam enam sore
Maria Zaitun sampai ke kali
Angin bertiup. Matahari (mulai) turun,
Hari pun (menjelang) senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya
Lalu ia makan pelan-pelan
Baru (makan) sedikit ia (tiba-tiba)berhenti
Badanya (terasa) masih lemas,
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali

(terlihat) Malaikat penjaga firdaus
Tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
Angin turun dari gunung dan
hari merebahkan badannya?
Malaikat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku
Bagai patung ia berdiri
dan pedangnya menyala)

(saat) Jam tujuh
dan malam tiba
Serangga bersuiran
(suara) Air kali terantuk batu-batu
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang
Dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya
Mandi di kali dengan ibunya
Memanjat pohonan dan memancing
ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi dan takutnya pergi
Ia merasa bertemu sobat lama
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya
Lantaran itu, ia sadar lagi kegagalan hidupnya
Ia jadi berduka dan mengadu pada sobatnya
Sembari menangis tersedu-sedu
Ini tak baik buat penyakit jantungnya

(terlihat) Malaikat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
Ia tak mau mendengar jawabku
Ia tak mau melihat mataku
Sia-sia coba bicara padanya
Dengan angkuh ia berdiri
Dan pedangnya menyala)

(pada) Waktu
 Bulan
(menyinari) Pohonan
(dan) Kali
(Bau)Borok
(dan) Sipilis
(serta) Perempuan (sakit)
Bagai (lapisan) kaca
Kali memantulkan cahaya gemilang
Rumput ilalang (terlihat) berkilauan
(di bawah cahaya) Bulan

(ketika) Seorang lelaki datang dari seberang kali
Ia berseru “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan. Lelaki itu menyebrang kali
Ia tegap dan (sangat) elok wajahnya
Rambutnya ikal dan matanya lebar
Maria Zaitun berdebar hatinya
Ia (merasa)seperti pernah kenal lelaki itu. (tetapi) Entah di mana
Yang terang tidak di ranjang, itu sayang. Sebab ia (sangat) suka lelaki seperti dia.
“Jadi, kita ketemu di sini.” Kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan, lelaki itu membungkuk mencium mulutnya
Ia merasa seperti minum air kelapa
Belum pernah ia merasa ciuman seperti
Lalu lelaki itu membuka kutangnya
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah dengan mata terpejam
Ia merasa berlayar ke samudra yang belum pernah dikenalnya.

Dan setelah selesai, ia berkata kasmaran.
“Semula, kusangka hanya impian, bahwa hal ini bisa kualami. Semula tak berani kuharapkan bahwa lelaki tampan seperti kau bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapa namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya
“Lihatlah, engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri
Di dua tapak tangan
Di dua tapak kaki
Maria Zaitun pelan berkata
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu (ia) menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala (berkata)
“Betul, ya.”

(saat) Malaikat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
(Dia) tak bisa apa-apa
Dengan kaku ia
(mem)beku
Tak berani lagi menuding kepadaku. Aku tak takut lagi
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus dan kumakan apel sepuasku
Maria Zaitun namaku
Pelacur dan pengantin adalah saya


Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pembacaan puisi secara Heuristik (Nyanyian Angsa: W.S. Rendra)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel