ASPEK MISTISISME DALAM NOVEL RIKMADENDA MENCARI TUHAN KARYA AJIP ROSIDI - JAMAL PASSALOWONGI -->

ASPEK MISTISISME DALAM NOVEL RIKMADENDA MENCARI TUHAN KARYA AJIP ROSIDI

 


A. Aspek Mistik Religius

Aspek mistik yang religius sebagaimana penjelasan sebelumnya adalah aspek mistik yang bertaut dengan masalah kebahagiaan bersatu dengan Tuhan, ketauhidan, kerinduan terhadap Tuhan dan Kema’rifatan.

Pemikiran dari tokoh sentral Rikmadenda dapat dijadikan alat untuk menandai adanya kesadaran mistik yang religius pada tokoh ini. Bahwa setiap manusia memiliki kesadaran rohani sebagai potensi fitriah yang memang hadir dalam diri manusia itu sendiri, akan tetapi banyak diantara manusi tidak memfungsikan potensi fitriah tersebut. Manusia yang demikian adalah manusia yang terjerumus oleh hitam kelamnya kejahatan dan pengaruh duniawi yang berlebihan. Ungkapan tersebut dikemukakan Rikamadenda dalam diaolgnya dengan Batara Guru, seperti pada kutipan dibawah ini:

Sesungguhnya kendatipun banyak orang yang pandai-pandai, dalam soal-soal lahir, yang pintar mencari akal untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan duniawi, namun hanya sedikit saja yang mengetahui soal-soal rohaniah. Hanya sedikit saja yang mengerti ilmu rohani. Apapula ilmu batin atau ilmu yang sejati. Betapa banyak orang yang pandai dalam ilmu-ilmu lahir, tetapi kosong saja dalam soal rohaniah. (RIM, hal 27)

 

            Pada kutipan diatas nampak bahwa manusia dengan kepandaian, kelebihannya dalam teknologi serta kecermalangan pengetahuannya, banyak yang terpikat menumpuk materi untuk kepentingan duniawi, sehingga melupakan dunia keabadiannya di akhirat kelak. Banyak manusia yang tidak mempunyai kesadaran akan hakikat kehadiaran mereka, untuk apa mereka hidup dan akan kemana mereka setelah hadir di dunia ini. Ini persoalan hakikat yang disebut pengarang lewat tokoh sentralnya Rikmadenda sebagai ilmu batin atau ilmu keTuhanan.

            Orang yang paham tentang ilmu keTuhanan adalah orang yang sadar akan kehadirannya, mereka pasti tidak akan tersesat jalan dan akan mendapat penghargaan baik dari manusia lebih lagi berharga dimata Tuhan, alasan ini yang dikemukakan Rikmadenda menjawab pertanyaan Batara Narada tentang keinginannya mengetahui ilmu hakikat itu. Seperti pada kutipan berikut:

Orang yang tidak mengetahui ilmu keTuhanan tidak akan berharga, apapula dihormati oleh orang lain. Jangankan lagi orang-orang dari Negara lain. Orang yang menjadi raja, hendaknya orang yang mengenal arti hidup dan mati-tahu akan rahasia-rahasianya. Tahu akan hakikat kebahagiaan. Dan orang seperti itu tidak lain adalah orang yang mengetahui ilmu keTuhanan. (RIM, hal 14)

           

            Manusia menjadi punya arti ketika memahami ilmu hakikat ini, sehingga harus ada usaha keras untuk mengetahuinya. Usaha keras itu ditunjukkan oleh tokoh sentral pengarang yakni Rikmadenda datang kekahiyangan mencari petunjuk  tentang ilmu keTuhanan itu. Dalam konsep mistisisme Islam atau tasawuf perjalanan mencari hakikat kedirian dan pengetahuan sejati disebut dengan perjalanan spiritual atau suluk para penempuh suluk ini kemudian dinamakan salik. Pada perjalanan ini orang yang menjalaninya harus melalui syarat-syarat tertentu supaya bisa mencapai maqam-maqam atau tingkatan-tingkatan dalam dunia mistik, seperti menahan hawa nafsu dan mengaktifkan budi (istilah dalam kebatinan yang merunjuk pada hal baik/kebaikan) pernyataan ini dapat dibaca pada kutipan berikut ketika Kresna menerangkan nafsu sebagai perusak hidup :

Budi dan nafsuku saban hari saban saat tak henti-hentinya berperang. Terus-terusan sepanjang waktu. Menurut kehendak nafsu, ingin kaya raya, ingin berkuasa, ingin melebihi orang lain. Pendeknya ingin menjadi yang paling tinggi diseluruh alam. Tak peduli bagaimanapun caranya. Tetapi budi tidak memperkenankannya. Budi ingin hidup dengan baik. Ingin puas dengan yang ada. Ingin menempuh jalan yang diridhoi Tuhan inginkan berkawan dengan orang lain ingin tidak mempunyai musuh. Menurut nafsu, tak perlu menjadi manusia baik. Tak perlu bekerja keras. Tak perlu memperhatikan orang lain. Asal segala keinginan terlaksana hati puas! Asal keperluan sendiri tercapai yang lain taki usah dihiraukan. (RIM, hal 153)

 

            Kehidupan para pesuluk harus dimulai dari penumbuhan budi dan penghilangan nafsu inilah jalan keras dari para penempuh suluk. Kekerasan hati para penempuh suluk ini tergambar dalam perjanan tokoh Rikmadenda, seperti pada kutipan berikut:

Orang mesti mengenal Tuhan dengan sungguh, tidak boleh hanya tahu namaNya saja. Mereka yang mengenal Tuhan namaNya saja, tetap kafir. Rama dan Hamba tidak mau menjadi kafir, maka keras keinginan hamba untuk mengetahui hakikat Tuhan yang benar, tidak hanya namaNya saja. (RIM, hal 15)

 

            Dari kutipan diatas akan sangat jelas konsep perjanan suluk para salikin, bahwa mereka menginginkan pengetahuan tentang Tuhan, bukan pada dataran mengenal adanya Dia, tapi sampai pada tahapan bertemu atau bersatu denganNya. Pada penjelasan tentang masalah ini, akan melibatkan konsep perkembangan manusia menuju sang Pencipta yang dikenal dengan istilah syariat, tarekat, hakikat, dan ma’rifat. Syariat merupakan uraian atau aturan-aturan baku, tarekat merupakan pelaksanaan, hakekat merupakan keadaan, dan makrifat merupakan tujuan pokok, yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya.

            Dalam perjanan spritual atau suluk ini, ungkapan-ungkapan serta pernyataan-pernyataan seputar kehadiran Tuhan atau hakikat adaNya, merupakan proses seorang salik untuk memantapkan langkahnya menuju cita-cita seorang salikin. Pernyataan Rikmadenda kepada Batara Guru dan Sangyang Wenang dapat dipahami sebgai upaya lebih memantapkan langkah tersebut, ini bisa dilihat pada kutipan berikut:

Tetapi kepada siapa hamba harus berbakti, apabila Tuhan yang hendak hamba sembah pun masih ditutupi kabut samar? Hamba mau berbakti kepada Tuhan Yang Mahasuci itu, kecuali asmaNya saja. Jadi bagaiman? Apakah cukup berbakti, berbakti, berbakti tanpa mengetahui tentang siapa yang dia sembah? Tanpa mengetahui tentang Dia yang hendak menerima buktinya? (RIM, hal 28)

 

Tapi bagaiman hamba akan memasang niat berbakti kepada Tuhan kalau Hamba sendiri belum mengetahui tentang Dia? Niat hamba baru bisa mantap kalau hamba tahu siapa yang hamba sembah. (RIM, hal 31)

 

            Dalam kehidupan mistik para pesuluk, keterjebakan akan realitas-realitas bayangan atau halusinasi penyatuan, merupakan nganguan dan cobaan yang sangat berat. Oleh karena itu syarat-syarat rela dijalani oleh mereka untuk mencapai tujuan misalnya yang dikemukakan Abu Bakar Atjeh dalam Sundari T. (1985:9) bahwa ada empat syarat yang harus dilaksanakan dalam menjalani suluk yaitu tahkim (melakukan tobat di depan guru dan menyerahkan diri kepadanya), takwa, zikir (untuk membasmi hawa nafsu, godaan setan dan mara bahaya), himmah (bertekad bulat). Demikian pula yang dihadapi Rikmadenda ketika terdesak oleh keinginan hatinya untuk mencoba mempresepsi Tuhan dalam bayangan dan keinginannya. Dalam dialog dengan Batara Kresna. Batara Kresna mengingatkan Rikamdenda akan kesalahan ini. Seperti pada kutipan berikut:

Tuhan itu Ada. Tapi ada bagi Tuhan berlainan daripada ada seperti yang kupikirkan atau yang kau angan-angankan. Tuhan itu Maha Esa, jadi Ada dan Tiada baginya sama. (RIM, hal 27)

 

Rikmadenda! Apa sebab kau mencari Tuhan? Dan bagaimana kau bayangkan Tuhan itu akan dibuktikan? Berbentuk manusia, bukan? (RIM, hal 142)

 

Kau makhluk, tetapi kau ingin terlepas dari sifat-sifat makhluk yang fana. Kau mencari Tuhan karena Kau anggap Tuhan itu tukang sulap yang dapat memberimu berbagai ajian dan asimat. (RIM, hal 143)

 

Karena kau membutuhkan kata-kata. Kau mencari Tuhan, tapi kau terjebak dalam rimba kata-kata. Padahal Tuhan itu tidak mungkin terngkum dari kata-kata ciptaan manusia. Tuhan Maha Agung, mak Ia tidak mungkin terperangkap dalam kata. Sedangkan kau sendiri tak dapat keluar dari jebakan kata-kata. (RIM, hal 144)

 

Saya menanyakan hal ini, karena ada juga orang yang menjelmakan Tuhan yang dipujanya sehingga kasat mata sesuai dengan angan-angannya sendiri.

(RIM, hal 210)

 

            Kesalahan persepi tentang Tuhan merupakan penghambat seseorang menuju alam ma’rifah, bahkan bisa jadi akan lengket pada apa yangt disebut syirik atau menyekutukan Tuhan, apakah itu dalam Zatnya atau bahkan pada sifat-sifatnya. Dalam ajaran Islam penekanan pada prinsip Tauhid merupakan satu-satunya azas pegangan baik seorang muslim untuk menempuh kehidupannya. Karena ungkapan Tauhid adalah bentuk penisbian atau hilangnya segala sesuatu kecuali Allah SWT. Bahkan sebenarnya dalam semua agama kesalahan menempatkan diri dihadapan Tuhan tidak dapat ditolerir karena hal itu merupakan pengingkaran terhadap kesucian agama itu sendiri.

            Pengetahuan tentang hakikat pada dasarnya harus dipahami sebagai perjalanan wajar yang dilakukan oleh mereka yang sadar akan hakikat kehadirannya dibumi ini, walaupun dengan jalan yang berbeda-beda, halan-jalan yang dimaksud adalah jalan yang sesuai dengan petunjuk suci, apakah dari orang-orang shaleh atau dari kitab suci agama atau suatu kepercayaan.

            Dalam agama-agama atau aliran kepercayaan, pengetahuan tentang kehadiran Tuhan dalam diri, bukanlah pengetahuan baru tetapi pengetahuan yang lahir bersamaan dengan adanya agama dan kepercayaan itu sendiri. Dalam aliran-aliran kebatinan jawa ada dikenal istilah panembah yang terdiri dari sembah raga, sembah cipta, sembah kalbu, dan sembah rasa, atau dalam Hindu (Bali) dikenal kehidupan Jnanayoga yakni jalan ilmu pengetahuan, bhaktiyoga yakni jalan kebaikan dan kesujudan, karmayoga yakni jalan perbuatan tanpa pamrih, rajayoga yakni jalan batin lewat samadi/tapa atau dalam ajaran Islam yang disebut tasawuf. Semuanya mempunyai ide dasar yang sama tentang penyatuan dengan Tuhan, walaupun dengan bentuk dan pengalaman yang berbeda. Dari pengalaman inilah hadir pengalaman yang berbeda yang dirasakan oleh para penempuh jalan spritual ini.

            Pengalaman mistik yang diperoleh oleh para pesuluk bisa berbeda pada tingkatan pencapaiannya karena dalam ilmu tasawuf, ada istilah yang disebut fana atau peleburan. Rikamadenda sebagai tokoh sentral, nampaknya mengantar pembaca untuk memahami pengalaman itu lebih dalam, terlihat pada kutipan berikut:

Aku ingin tahu hakikat asal hidup. Tuhan niscaya mengetahuinya. Kalau aku telah bertemu dengan Tuhan, maka aku pun dapat mengetahui hakikat asal hidup. Jika aku sudah mengetahuinya, tentu aku tidak akan terkena rusak ataupun mati. Mata yang biasanya lamur, niscaya akan menjadi tajam kembali. Kulit yang biasanya jadi keriput, niscaya akan belia kembali. Gigi yang biasanya menjadi ompong, tentu akan tetap utuh. Yaitu kalau aku sudah tahu hakikat asal penciptaan tubuh, kulit, mata, gigi, otak, ya bahkan penciptaan jagat, penciptaan alam semesta - - ialah Tuhan Yang Maha Pencipta (RIM, hal 143)

            Pada kutipan diatas terlihat suatu bentuk keniscayaan, apabila ungkapan tersebut dipahami secara tekstual dan bukan pada kaidah mistisisme, sebab pengetahuan tentang proses penyatuan diri hanya dibahas dalam kitab-kitab para pesuluk, atau penempuh jalan spritual. Mengetahui hakikat hidup dipercaya sebagai tingkat paling tinggi dalam dunia tasawuf, dalam istilah-istilah yang memberikan keterangan tentang hal ini, ada yang disebut dengan panteisme, kesatuan wujud atau wihdatul wujud, atau dalam ilmu kebatinan disebut manunggaling kawulan Gusti. Demikian beberapa keterangan tentang tingkatan pencapaian hakikat, atau dengan kata lain mencapai tingkat ma’rifat. Dalam pandangan Wujudiyah, itu disebut tercapainya persatuan dengan Tuhan.

            Dalam kesadaran mistik para sufi, pengalaman penyatuan itu disebut dengan fana. Fana dalam pengertiannya adalah pelenyapan diri total, yakni meleburkan diri dalam kehendak dan kemauan yang fana, dan dengan demikian sampai padakedudukan baqa’ (yakni tinggal dalam kehendak Allah yang Abadi) pada tahap inilah rahasia kehidupan abadi tersingkap baginya (Muttahari, 1995).

            Dari penggalan kutipan “bahwa Aku ingin mengenal hakikat hidup”dan jika mengetahuinya seluruh perangkat manusianya hilang seperti “Mata yang biasanya lamur, niscaya akan menjadi tajamkembali. Kulit yang biasanya jadi keriput, niscaya akan belia kembali. Gigi yang biasanya menjadi ompong, tentu akan tetap utuh”’ merupakan gambaran penyatuan utuh pada hakikat asal yakni Tuhan itu sendiri. Dalam pandangan kaum arif, Muttahari (1995:24) menjelaskan bahwa “capaian tertinggi manusia adalah ia kembali kepada asal-usulnya (yakni, darimana dia datang) guna menghilangkan jarak antara dirinya dengan Allah serta hilangnya sifat-sifat kemanusiaan untuk berusaha hidup dalam Diri-Nya”.

            Konsep fana ini, harus mempunyai penjelasan yang lebih jauh, karena perkara penyatuan itu bukan masalah mudah dan dapat dipahami seperti pengetahuan lainnya. Karena itu perlu lebih dahulu dipahami beberapa pengertian yang berhubungan dengan konsep fana ini. Yang pertama adalah Al-ittihad, Al-ittihad adalah tingkatan dalam tasawuf dimana seorang sufi telah merasakan bersatu dengan Tuhan, dijelaskan oleh Nasution (1992:82) bahwa itu “adalah suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain”. Orang yang sudah mencapai ini karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara dengan nama Tuhan. Yang kedua adalah Hulul, penjelasan tentang hulul ini dapat dilihat pada penjelasan al-Hallaj dalam Nasution (1992:89) sebagai berikut:

Dalam diri manusia terdapat sifat ke Tuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian persatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi, dan persatuan ini dalam filsafat al-Hallaj mengambil bentuk hulul. Dan agar dapat bersatu itu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya dengan fana’. Kalau sifat-sifat kemanusiaan telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat keTuhanan yang ada dalam dirinya dan ketika roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia maka, jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan ketika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.

 

            Pendapat al-Hallaj tersebut walaupun mengantarkannya gelangan eksekusi, namun masih banyak menjadi rujukan kaum sufi. Yang ketiga adalah Wahdatul Al-Wujud, yang berarti kesatuan wujud, paham ini dinisbahkan pada seorang sufi besar Muhy al-Din Ibn Arabi, atau lebih dikenal dengan Ibnu Arabi. Dalam Nasution (1992:94) dijelaskan bahwa “makhluk dijadikan dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan, sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki. Yang dijadikannya hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud diluar dirinya yaitu Tuhan”. Dengan demikian yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Tuhan dan wujud yang dijadikan ini pada hakikatnya bergantung pada wujud Tuhan, yang dijadikan sebenarnya tidak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Allah, dengan demikian hanya ada satu wujud, yakni wujud Tuhan. Lebih jauh Kata Ibnu Arabi dalam Nasution (1992):

Sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan dan ia berhajat kepada Khalik yang menjadikannya; karena ia hanya mempunya sifat mukmin (mungkin ada dan mungkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain . . .

Dan sesuatu yang lain tempat ia bersandar ini haruslah sesuatu yang pada esensinya mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tak berhajat kepada yang lain dalam wujudnya; bahkan ialah yang dalam essensinya memberikan wujud bagi yang dijadikan . . .

Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib, tetapi sifat wajib ini bergantung pada sesuatu yang lain, dan tidak pada dirinya sendiri.

 

Dengan kata lain makhluk atau yang dijadikan, wujudnya bergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib, tegasnya yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan.

Dalam konsep kebatinan fana, dapat dikaitkan dengan konsep panteistis, yaitu manusia dan jagat raya merupakan percikan dari zat Ilahi, manifestasi dari emansai Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang lain dalam konsep kebatinan adalah konsep tentang manusia mempunyai dua segi, yaitu segi lahiriah dan segi batiniah. Segi batiniah ialah rohnya, sukma atau pribadinya. Inilah bagian yang mempunyai asal-usul dan tabiat Ilahi karena itu batin merupakan kenyataan yang sejati. Segi lahiriah dari manusia ialah badannya dengan hawa nafsu dan daya-daya rohaninya. Inilah wilayah kerajaan roh, dunia yang harus dikuasainya yang biasa disebut dengan jagat cilik. Bila manusia dapat menguasai jagat cilik berarti dalam dirinya sendiri telah tercapai kesatuan, yaitu badan mengalami proses spritualisasi berkembang menjadi rohani. Dengan demikian, suatu perkembangan harmonis sudah dimulai. Gangguan paling besar terhadap kesatuan harmonis ini ialah intelektualisme sebab intelektualisme memperkuat individualism yang memperbesar nafsu-nafsu yang bersifat pamrih. Oleh karena itu Said dalam (Sudari T.,1985:11) mengembangkan semboyan dan tujuan kebatinan menjadi sepi ingh pamrih, rame ing gawe, mamayu ayu salira, mamayu ayu bangsa, mamayu ayu manunggal (sedikit bicara giat bekerja, demi kebaikan diri pribadi, demi kebaikan bangsa, demi kebaikan ummat manusia sedunia).

Penjelasan tentang konsep fana tersebut diatas pada dasarnya tidak berdiri sendiri, maksudnya bahwa konsep fana, peleburan, pengalaman, menyatu dengan Tuhan harus dipahami sebagai bentuk pengalaman tertinggi dari para pesuluk, akan tetapi setelah pengalaman fana ini ada kemudian yang disebut pengalaman untuk berbeda. Pengalaman ini adalah pengalaman sebagai akibat dari pergerakan kesatuan yang tiada beda kepada kesadaran (akan) perbedaannya dengan Tuhan. Al-Quraisi menulis dalam Ansari (1993:48) bahwa sesudah mengalami jam’al-jam’ atau penyatuan yang mutlak terbentang  keadaan suci yang disebut pemisahan kedua, yakni keadaan dimana sufi kembali pada kesederhanaan. Ia kembali (rujuk) hanya dan untuk Tuhan dan bersama dengan Tuhan, dan bukan untuknya atau bersamanya.

Pemaparan diatas telah menjelaskan sisi kemahlukan manusia itu sendiri, hal ini juga ditegaskan Kresna ketika mencoba meluruskan pemahaman Rikamadenda tentang hakikat Tuhan dan makhluk, seperti pada kutipan :

Kau makhluk, tetapi ingin terlepas dari sifat-sifat fana’mu, kau ingin memperoleh pengetahuan agar kau terlepas dari sifat-sifat fana’mu sebagai makhluk. (RIM, hal 143)

 

            Kutipan diatas memberikan kejelasan akan adanya perbedaan antara penyatuan dan kesadaran akan perbedaan. Apabila dicermati lebih jauh, maka kita akan diperkenalkan pada perbedaan dari aliran-aliran mistik, baik dari aliran kepercayaan/kebatinan ataupun dari agama-agama yang ada dan mempunyai kesaksian mistik. Dalam ajaran mistisisme Islam atau tasawuf, dikenal doktrin-doktrin yang mencoba meluruskan hakikat penyatuan antara Tuhan dengan makhluknya seperti pada uraian diatas. Oleh karena pada sisi inilah akan terlihat perbedaan doktrin kebatinan dari ajaran Islam atau dengan ajaran-ajaran lainnya. Misalnya ajaran panteisme yang banyak ditemukan dalam aliran kebatinan, perlu dipahami bahwa jalan yang ditempuh oleh kebatinan untuk mencapai persatuan dengan Tuhan, sebenarnya sangat dekat dengan ajaran mistik Islam hanya dalam kebatinan unsur-unsur Hindu Buda bercampur dan kental didalamnya.

            Pada uraian tentang penyatuan dikemukakan konsep fana yang ada dalam aliran pateistik, aliran ini mempunyai penyatuan Tuhan dengan makhluk dan tidak ada pemisahan antara keduanya. Wihdatul wujud Ibnu Arabi oleh banyak ahli juga sering dinisbahkan pada paham ini, padahaal beberapa pendapat dari cendikiawan muslim mengungkapkan bahwa ada perbedaan mendasar dari panteisme dan wihdatul wujud itu sendiri, antara lain pernyataan Seyyed Hossein Nasr bahwa wihdatul wujud masih mengakui transendensi Tuhan sedang panteisme menolok transendesi dan personalitas Tuhan. Wihdatul wujud mengajarkan apa yang disebut tanzih dan tasybih, imanensi, dan transendensi sekaligus. Dalam satu hal, alam adalah lain dari Tuhan, karena tidak satupun yang ditemukan didalamnya yang tidak menamai-Nya.

            Panteisme adalah paham yang tidak mengakui adanya atau mengenal hubungan personal antar hamba dan Sang Pencipta. Pada hal hubungan personal ini adalah suatu kemestian religius dalam Islam yang menuntut ketaatan, kepaTuhan, atau ketundukan sang hamba kepada Tuhannya. Jika Tuhan adalah personal, atau jika ada hubungan personal antara manusia dan Tuhan, tentu Tuhan yang seperti ini mesti berbeda dengan, tetapi juga melebihi alam. Tuhan yang demikian menurut Schimmel dalam Azhari (1995:202) adalah Tuhan transenden. Disini panteisme menolak personalitas dan transendensi Tuhan. Dalam aliran kebatinan Jawa panteisme dirumuskan dengan kata manunggaling kawulan Gusti atau bersatunya hamba dengan Tuhannya, rumusan ini menegaskan bahwa Tuhan adalah Semuanya dalam semua, tidak ada sesuatu pun yang bukan Tuhan, dan Tuhan adalah segala sesuatu yang ada. Tipe pateisme nuga dapat ditemukan dalam beberapa bentuk Hinduisme misalnya dalam Wedanta Adwaita atau dalam Buddisme Zen (Azhari, 1995:191).

            Pengalaman fana seperti pada penjelasan diatas akan menjadikan seorang pesuluk lebih memahami hakikat hidup dan kemanusiannya, bahwa kehadirannya merupakan wujud kehadiran Tuhan itu sendiri. Kemanusiaan yang terpecah dan terdiri dari eksistensi berbeda sebenarnya pada hakikatnya satu, karena semuanya berasal dari Tuhan. Kutipan di bawah ini akan memperlihatkan maksud tersebut :

(RIM) Jadi manusia itu hanya satu ?

(BK)    Hakikatnya hanya Satu

(RIM) Tetapi hamba dengan paduka ‘kan tidak satu? Begitu pula Sanghiang Tunggal dan lain-lain. (RIM, hal 160)

 

            Kutipan diatas adalah percakapan Batara Kresna dengan Rikamadenda. Penyataan Rikamadenda tentang manusia merupakan pribadi-pribadi yang berbeda, adalah pernyataan yang menolak eksistensi penciptaan manusia itu sendiri. Dalam literature Islam dikemukakan bahwa proses penciptaan manusia pada dasarnya dari satu tiupan ruh Tuhan. Pada pengertian ditiupkan ruh, berarti kehadiran potensi keTuhanan dan potensi kebaikan sebagai fitrah merupakan hal dasar dari pembentukan manusia setelah tanah. Atau lebih lanjut Batara Kresna menjelaskan dalam dialognya dengan Rikamadenda :

(RIM) Jadi sesungguhnya paduka dan hamba satu?

(BK)    Satu. Karena aku manusia beriman, engkau pun manusia beriman.

(RIM)   Hmmmmh. Jadi Satu ….                    

(BK)      Ya, satu.

(RIM) Jadi sebenarnya manusia beriman itu hanya satu, karena semuanya    berkepentingan menegakkan kebenaran Tuhan yang Satu. (RIM, hal 160)

 

            Kutipan diatas cukup untuk menjelaskan bahwa kehidupan dalam banyak ragam bentuk manusia tetapi pada hakikatnya satu dalam konsep penciptaan, hanya perbuatan manusia menyebabkan derajat-derajat, seperti beriman dan tidak beriman itu muncul, pada dataran inilah manusia berbeda di mata Tuhan.

            Manusia adalah makhluk yang diciptakan dari sari pati yang sama, dalam kebatinan ataupun dalam dunia tarekat, manusia dalam arti hakikat adalah makhluk ciptaan sempurna dari sisi rohani Tuhan, yang paling mirip dengan sifat-sifat-Nya, gambaran tersebut dapat kita peroleh dari penjelasan Batara Kresna pada saat berdialog dengan tokoh lainnya dalam novel ini yaitu Prabu Mustakaluhur ayah dari Rikamadenda :

(BK)   Apakah paduka tahu apa yang dinamakan manusia? Bukan sebutan manusia itu ada?”

(PM)  Tentu saja tahu! Kita inilah manusia: paduka, saya dan Rikamadenda-semua kita inilah manusia.”

(BK)  Ini saya, Kresna. Dan ini paduka, putra mahkota. Jadi yang mana yang manusia!”

(PM)  Saya ini manusia

(BK)    Yang mana.

(PM)  “Ini!” Sambil menepuk dadanya.

(BK)    Itu dada.

(PM)  “Ini!” katanya sambil memegang kepala.

(BK)    Itu kepala.

(PM)  Ya seluruhnya, dari rambut sampai kaki, seluruh tubuh.”

(BK)    Itu namanya badan atau tubuh. Jadi yang mana manusia.”

(PM)  Jadi semuanya punya nama sendiri. Jadi yang mana disebut manusia itu!

(BK)    Manusia ialah makhluk citaan Tuhan yang paling sempurna. Konon yang paling mirip dengan sifat-sifat-Nya. Kepada manusia diberikanNya apa-apa yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain ciptaanNya. DiangkatNya manusia sebagai wakil Tuhan di alam semesta ini. (RIM, hal 213)

 

            Penjelasan Batara Kresna tersebut telah membuka pikiran Prabu Mustakaluhur dalam melakukan penilaian terhadap manusia, bahwa manusia itu mulia karena merupakan ciptaan terbaik dari semua makhluk, meskipun begitu kemuliaan ini akan terampas oleh nafsu kebinatangan bila manusia tidak mampu melawannya. Lebih jauh Batara Kresna menjelaskan :

Ya. Manusia itu mulia, karena itu kita harus mempertahankan kemuliaan manusia. Manusia yang begitu mulia harus tetap mulia, jangan jatuh kemartabat binatang karena mengikuti nafsu serakahnya. Hanya manusia yang dapat mempertahankan martabat kemanusiaannya yang mulia saja yang pantas mengemban kepercayaan Tuhan. (RIM, hal 214)

 

            Kemuliaan manusia menurut Prabu Kresna seperti kutipan diatas, adalah kemuliaan fitrawi karena tidak terkecuali oleh siapapun, akan tetapi sejauh manusia mempertahankan kemuliaannya menurut Batara Kresna dalam kutipan selanjutnya adalah :

Nafsu serakah yang selalu mengeruhkan hati, harus disingkirkan, hanya dengan begitu hati kita menjadi jernih dan suci. (RIM, hal 214)

 

            Pada bagian ini menurut Kresna manusia harus menjadi pemenang dari hawa nafsu itu, dalam tasawuf banyak terdapat cara untuk menundukkan hawa nafsu antara lain, (1) membiasakan menahan lapar, mengurangi makan dan minum, ju’, untuk mengurangi darah dalam hati, tempat bersarangnya syetan dan juga untuk memutihkan hati, dalam (2) mengurangi tidur dan beribadah di malam hari, (3) samat, yaitu, berdiam diri, berbicara yang perlu-perlu saja; dan (4) untuk melaksanakan samat diperlukan khalwat. Ada sebuah riwayat bahwa pernah Rasulullah SAW mengatakan, “Seandainya kalian tidak banyak berbicara dan hati kalian selalu merasa khawatir, maka kalian pasti akan melihat apa yang kulihat dan mendengar apa yang aku dengar.” Riwayat ini menunjukkan bahwa penyebab sesungguhnya dari tidak biasanya manusia mencapai kesempurnaan manusiawi adalah pikiran-pikiran kotor dan berbagai tindakan jahat bahkan Nabi pernah bersabda “seandainya syetan tidak berkeliaran dihati dan kalbu mereka, pastilah manusia bakal melihat seluruh kerajaan langit dan bumi” (Muttahari,1995).

            Manusia yang mampu mensucikan hatinya yang mampu menyerap cahaya Tuhan, ibarat cermin semakin bersih semakin berkilau, cahaya mudah masuk tanpa terhalang kotoran-kotoran yang menempel pada cermin tersebut. Dalam istilah umum dalam agama Islam manusia seperti ini disebut insane kamil, manusia sempurna. Seperti kata Kresna berikut ini ketika Prabu Mustakaluhur bertanya tentang manusia yang sempurna :

Insan kiamil ialah manusia sempurna. Artinya sempurna sebagai manusia. Dan yang sempurna sebagai manusia ialah yang sama dengan manusia yang lain. Manusia lain merasa sakit kalau kepalanya tertimpa kelapa. Manusia lain merasa sedih kalau orang tua atau anaknyaa yang dicintainya sakit atau meninggal, maka insan kamil pun merasa sedih. Manusia lain luka kalau ditusuk dengan senjata, insan kamil juga terluka kalau terkena senjata. Insan kamil ialah manusia yang telah menerima dirinya hidup sebagai manusia biasa.

(RIM, hal 212)

 

            Kutipan diatas merupakan jawaban Kresna terhadap pertanyaan Prabu Mustakaluhur tentang manusia sempurna. Nampak bahwa Kresna menjelaskan hal tersebut dikarenakan angan Prabu Mustakaluhur yang menganggap manusia sempurna adalah manusia “super”, manusia yang bisa segalanya. Jadi apa perbedaannya dengan manusia yang lain, Kresna mengungkapkan:

Manusia biasa mungkin tidak menyadari dirinya sebagai makhluk yang telah diciptakan Tuhan dan harus mensyukuri nikmat pemberianNya. Insan kamil menyadari itu. (RIM, hal 212)

 

            Menurut Kresna, ternyata letak perbedaannya ada pada kesadaran sebagai makhluk. Mereka yang sadar mengapa mereka ada dan untuk apa mereka hidup, serta melihat isi alam sebagai karunia yang wajib disyukuri itulah yang dimaksud insan kamil. Kesyukuran merupakan pengakuan jujur manusia akan kebesaran dan keMaha kuasaan Tuhan, nikmat dan berkah yang tidak terhitung adalah wujud keMurahanNya. Bahkan tubuh, hidup dari manusia itu adalah nikmat yang tidak ternilai. Seperti ucapan Kresna :

Tuhan memang Maha Pemurah. Tidakkah paduka menyadari bahwa tanpa paduka minta pun Tuhan telah dengan PemurahNya member paduka tangan sepasang, kaki sepasang, mata sepasang, mulut, hidung dan seluruh tubuh paduka yang tidak cacat. DiberiNya pula paduka kesehatan, baik lahir maupun batin. Masih kurangkah apa yang telah diberiNya itu, sehingga paduka begitu serakah akan meminta yang lain lagi? Tidakkah baginda menyadari bahwa Kerajaan Girimustakaluhur yang sekarang baginda kuasai pun pada hakikatnya adalah pemberian Tuhan juga?.

(RIM, hal 211)

 

            Jelasnya bahwa berkah dan rahmat serta nikmat-Nya tidak terhitung jumlahnya dan tidak terbatas. Kata-kata yang mengekspresikan semuanya berpijak pada kebuTuhan-kebuTuhan manusia. Dan kata-kata baru pun terus diciptakan dengan makin bertambahnya kebuTuhan manusia. Itulah sebabnya mustahil bagi manusia mengekspresikan berbagai kebenaran dan nikmat Tuhan dalam susunan kata-kata. Karena ucapan dan perkataan hanyalah bersifat kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi dalam susunan kata-kata.

            Kesyukuran akan nikmat Tuhan sebagaimana penjelasan diatas lebih mengantar manusia untuk lebih pandai dalam mengolah alam sebagai wakil Tuhan di bumi ini, bahkan pengetahuan akan hakikat keTuhanan ternyata dapat diperoleh berdasarkan informasi kehadiran alam dan manusia itu sendiri. Manusia yang sadar akan persoalan ini hidupnya akan menjadi rahmat bagi seluruh manusia lainnya karena hal ini akan berakibat pada kemuliaan manusia yang satu seperti penjelasan sebelumnya. Ungkapan ini juga dukemukakan oleh Batara Kresna menjawab pertanyaan Prabu Mustakaluhur tentang perbuatan yang harus dilakukan oleh manusia yang sadar dan mengerti hakikat dirinya:

Tengoklah ke kiri ke kanan, apakah ada ataukah tidak manusia lain yang hatinya keruh oleh keserakahan sehingga menimbulkan bencana kepada kehidupan manusia seluruhnya. Kalau ada, kita harus menyadarkannya. Kalau tidak dapat disadarkan dengan nasihat, sadarkanlah dengan tangan. Karena kalau manusia serakah seperti itu dibiarkan, hanya akan menghancurkan kehidupan manusia yang mulia dan niscaya akan mengharu-birukan manusia lain yang hendak mempertahankan kemuliaannya. (RIM, hal 214)

 

            Penjelasan ini Batara Kresna ini juga menjawab beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya pendapat tentang para pesuluk yang melupakan duniawi karena tenggelam oleh kehidupan asketiknya. Dalam mistik Islam atau tasawuf banyak dikemukakan oleh para penulis tasawuf bahwa sufisme bukanlah pelarian dari kenyataan hidup sehari-hari. Karena menurut Al-Taftazani (1985) sufi sebenarnya merupakan gerakan sekaligus ajaran untuk mempersenjatai diri manusia dengan nilai rohaniah baru yang menegakkannya saat menghadapi kehidupan materialis. Tanggung jawab sosial juga merupakan perwujudan kecintaan seorang sufi kepada penciptanya. Bahkan lebih tegas dapat dikatakan bahawa jalan sufi bukanlah jalan berbalik untuk membangun mahligai di langit, melainkan jalan turun dari kesadaran langit untuk memenangkan perjuangan bumi.

 

 

 

B. Aspek Mistik Sosial

Aspek mistik sosial merupakan aspek mistik yang berkaitan dengan masalah-masalah kemasyarakatan, atau masalah sosial yang bermuara atau dibingkai dengan semangat religius, misalnya masalah ketidakadilan, tanggung jawab sosial dan lain sebagainya.

Dalam novel ini akan ditemui penggalan-penggalan yang menunjukkan aspek mistis yang disangkutkan dengan masalah kemasyarakatan, misalnya rasa ketidakadilan dan pemaksaan oleh para penguasa. Seperti kata Semar pada kutipan berikut ketika menyaksikan kondisi sosial kerajaan Astina :

Memang sejak beberapa minggu ini kudengar banyak orang mengungsi dari Astina. Konon kabarnya karena para pejabatnya ganas-ganas. Pamongprajanya galak-galak, tidak bertimbang rasa terhadap rakyat. Mereka tidak melakukan tugasnya dengan baik. Malah kerjanya hanya mengumpulkan uang dari rakyat. Ada uang sumbangan untuk perayaan, ada uang sumbangan untuk membikin jalan, ada sumbangan untuk menjaga keamanan, bahkan para petani harus membayar sumbangan hujan yang dipungut kalau hujan turun. Yang sering adalah sumbangan perayaan, katanya; tapi dalam perayaan demikian yang perpesta-pora hanya orang-orang gede saja, sedangkan rakyat hanya menonton para pembesar itu menikmati makanan-makanan lezat yang dibuat dari uang yang dikumpulkan dari rakyat. Jalan pun tidak pernah dibikin, padahal uangnya terus dipungut juga. Entah amblas kemana. Demikian juga uang keamanan. Uangnya dipungut terus tetapi kehidupan rakyat tidaklah terjamin keamanannya sendiri, sedangkan para petugas yang dibayar oleh uang yang dipungut dari rakyat sibuk mengatur kemakmuran.

(RIM, hal 48)

           

            Kutipan diatas menjelaskan tentang ketidak adlian penguasa terhadap rakyat, beban berat yang sudah dipikul rakyat diperbesar dengan hal yang macam-macam yang intinya sangat memberatkan kehidupan masyarakat. Dalam kitab suci banyak dijelaskan tentang masalah ketidak adilan penguasa, seluruh harta kekayaan Negara yang seharusnya diperuntukkan untuk kemakmuran rakyat, ternyata dioeruntukkan untuk orang-orang dekat kekuasaan sehingga kemakmuran itu hanya menjadi milik segelintir manusia. Ini disebabkan oleh penguasa-penguasa yang tidak layak menempati kursi kekuasaan seperti yang dikemukakan Curis berikut ini :

Ya memang kalau sedang-pangan itu untuk keperluan rakyat! Tapi kalau dihabiskan oleh mereka sendiri saja? Paling jauh yang turut kebagian hanya anak-istri, keluarga atau mertuanya, dank arena mereka yang mengatur itu bukan ahlinya, daripada beres malah acak-acakan. Pasar macet. Perdangan mandeg. Yang subur malah katanya catut-mencatut. (RIM, hal 48)

 

            Apabila suatu pekerjaan diberikan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggu kehancuran pekerjaan tersebut. Ungkapan ini sejak ratusan tahun yang lalu telah dikemukakan oleh Nabi Muhammad SAW yang tercatat abadi dalam haditsnya. Persoalan yang dikemukakan Curis diatas selalu terjadi apabila rasa keadilan sudah hilang dari hati-hati manusia. Rasa keadilan itu tidak memandang kepada siapapun, menegakkan hokum harus obyektif. Prabu Kresna ketika mencontohkan keadilan itu sebagai berikut :

Orang jahat memang sepatutnya untuk dipenjara, karena itu tidak perlu dicemaskan nasib orang jahat. Tetapi sesorang masuk penjara mestilah terang dahulu kesalahannya. Orang tidak boleh hanya lantaran perasaan benci lantas memasukkan orang lain ke dalam penjara sesuka hati! Lebih tidak boleh jika memasukkan orang lain ke dalam penjara hanya lantaran sedang berkuasa atas pintu penjara. Hanya berdasarkan sangkaan, hanya berdasarkan tuduhan yang tidak atau belum terbukti kebenarannya. (RIM, hal 89)

 

            Penjelasan Prabu Kresna memberikan pandangan tentang rasa keadilan, bahwa rasa keadilan kepada siapapun. Harus tidak bersumber dari prasangka dan tuduhan, Sehingga manusia bisa menempatkan rasa keadilan tersebut pada tempatnya. Manusia tidak harus sewenang-wenang atas nama perdamaian melakukan tindakan sesukanya. Hal ini dikatakan oleh Prabu Kresna dalam dialognya dengan Prabu Catut sebagai berikut :

(BK)Katanya hendak membela perdamaian. Katanya hendak melenyapkan perasaan benci. Tapi antara sebentar mau main bunuh saja!

(PB)Untuk mencapai cita-cita yang mulia, untuk mencapai cita-cita yang luhur, aku tidak segan-segan melakukan pembunuhan Aku tidak akan haru oleh kematian orang-orang yang membangkang, yang tidak menurut, karena tujuanku mulia dan suci.

(BK)Untuk kebaikan dan kebahagiaan ummat manusia kok membunuh manusia? Untuk kepentingan kemanusiaan kok mengorbankan manusia.

(PB)Engkau tidak tahu! Kresna bodoh! Manusia ini fana, manusia itu tidak langgeng. Tapi kemanusiaan itu langgeng, abadi dan kekal. Aku tidak sayang melenyapkan yang fana dan tidak langgeng untuk mewujudkan yang langgeng, suci, abadi.

 

           

 

 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "ASPEK MISTISISME DALAM NOVEL RIKMADENDA MENCARI TUHAN KARYA AJIP ROSIDI"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel