Pembacaan puisi secara hermeneutik/retroaktif (Nyanyian Angsa: W.S. Rendra) - JAMAL PASSALOWONGI -->

Pembacaan puisi secara hermeneutik/retroaktif (Nyanyian Angsa: W.S. Rendra)



oleh : Jamal Passalowongi

Puisi “Nyanyian Angsa” merupakan  puisi yang ditulis berdasarkan imajinasi Rendra dalam melihat realitas, sangat terasa ada nada ironi, marah, pertanyaan, dan rasa bersalah di dalamnya, Rendra seakan menciptakan puisi ini dengan keinginan, dunia melihat bahwa ada realitas di tengah masyarakat, ada kesewenangan, ada ketidak adilan, ada keinginan, dan sebagainya. Gaya Rendra dengan menciptakan tokoh pelacur sengsara Maria Zaitun dan perjalanan yang didramatisasi sedemikian rupa oleh Rendra sungguh menciptakan kisah dalam bentuk narasi yang unik penuh makna. Makna itu tidak saja dapat ditangkap dari deretan kisah Maria Zaitun, tetapi lebih lagi pada pemaknaan kata-kata atau frasa dalam puisi.
Peneliti akan mendalami puisi ini dengan melakukan pembacaan hermenutik/retroaktif sebagai berikut:
Pelacur di mata hukum negara, agama, dan masyarakat tidak sama, hukum negara menghukum pelacur karena pelanggaran sulisa, pelanggaran susila sudah diundang-undangkan, akan tetapi pelacur yang beroperasi ditempat pelacuran yang sudah dilegalisasi oleh negara, tidak akan tersentuh hukum. Negara melakukan legalisasi pada pelacuran dengan beragam alasan, negara juga mempelopori penggantian atribut, melakukan efeumisme penghalusan makna, dari pelacur, wanita tuna susila, kupu kupu malam, dan lain sebagianya.
Agama melihat pelacuran sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran kesucian dan keselamatan, melanggarnya berarti dosa, dosa berarti neraka, pelacuran melanggar ajaran kesucian itu, maka pelacuran adalah dosa, dan tidak ada tempat orang berdosa selain neraka.     Masyakat melihat dari sudut pandang beragam, masyarakat yang diuntungkan dengan adanya pelacuran akan mendukung dan melindungi pelacuran, masyarakat yang melihatnya sebagai sampah masyarakat akan mencibir dan tidak memberikan sejengkal tanah pun untuk para pelacur. Dunia pelacuran adalah dunia penuh “warna”, karena orang-orang yang melibatkan dirinya menjadi pelacur dari berbagai strata sosial, motif menjadi pelacur pun beragam, motif sosial, keluarga, ekonomi, dan sebagainya.
Puisi “Nyanyian Angsa” pada bait-bait awal memperlihatkan sikap dari pandangan masyarakat pendukung pelacuran, prostitusi adalah nama lain, wanita tuna susila, nama lainnya lagi, tetapi modus tetap sama dari masa ke masa, entah dari tahun berapa atau sebelum manusia mengenal tahun, mereka telah ada. Masyarakat pemanfaat pelacuran, melihat pelacuran sebagai aset penghasil uang, adalah mucikari, pemelihara, pemberi pinjaman, pemberi medali bagi siapa yang paling banyak disukai tamu-tamu. Saat pelacur dalam asuhan mereka tidak dapat lagi dimanfaatkan, tidak menghasilkan uang lagi, tidak mampu melayani tamu lagi, maka alamat celakalah si pelacur, dia harus dibuang dengan utang dan penyakit yang menumpuk ditubuhnya.
Si Aku lirik (Maria Zaitun) akhirnya dibuang dalam ketidakberdayaan, penuh luka, dan utang., tanpa teman dan kehilangan cahayanya. Inilah prilaku buruk dalam pepatah “habis manis sepah dibuang”. Menjadi orang berguna adalah hal yang membangakan bagi setiap manusia, sesuatu yang amat didambakan, berguna dalam hal apa saja. Contoh pelacur dalam bait pertama ini memang terlihat ekstrem tetapi menjadi contoh yang baik, bahwa kegunaan seseorang hanya diukur oleh materi. (Kamu tidak lagi hasilkan uang)....

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pembacaan puisi secara hermeneutik/retroaktif (Nyanyian Angsa: W.S. Rendra)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel