Mengapa Taksonomi SOLO Relevan dalam Pembelajaran Abad ke-21
Mengapa Taksonomi
SOLO Relevan dalam Pembelajaran Abad ke-21
Taksonomi, sebagai sistem
klasifikasi, merupakan alat fundamental bagi pendidik untuk merumuskan tujuan
pembelajaran yang jelas dan mengevaluasi hasil yang dicapai oleh peserta didik.
Di antara berbagai taksonomi yang ada, Taksonomi SOLO (Structure of Observed
Learning Outcomes) menawarkan kerangka kerja yang kuat untuk mengukur kedalaman
dan kompleksitas pemahaman. Dikembangkan oleh John Biggs dan Kevin Collis pada
tahun 1982, model ini kemudian diuraikan secara lebih rinci dalam publikasi
seminal Biggs dan Tang pada tahun 2007, sebuah karya yang kini dianggap sebagai
referensi global dalam pengajaran dan pembelajaran di universitas.
Kerangka Teoretis: Memahami Struktur Hasil Belajar yang Teramati (SOLO)
Taksonomi SOLO adalah sebuah
taksonomi yang dirancang untuk mengukur tingkat kompleksitas struktural dari
hasil belajar yang teramati pada respons siswa terhadap suatu tugas. Model ini
berakar pada teori konstruktivis, yang berfokus pada bagaimana pemahaman siswa
berkembang secara hierarkis, dari yang sederhana ke yang lebih kompleks.
Berbeda dengan taksonomi lain yang mungkin berfokus pada proses kognitif, SOLO
secara eksplisit menilai kualitas respons siswa berdasarkan struktur
internalnya—seberapa banyak informasi yang digunakan dan bagaimana informasi
tersebut saling terhubung.
Prinsip inti dari Taksonomi SOLO
adalah pergeseran dari pemahaman "permukaan" (surface understanding)
ke pemahaman "mendalam" (deep understanding). Tingkat Unistruktural
dan Multistruktural mencerminkan pemahaman permukaan, di mana siswa hanya
mengumpulkan informasi atau fakta secara terpisah. Transisi ke tingkat
Relasional dan Abstrak Meluas, sebaliknya, menandai pemahaman yang mendalam, di
mana siswa mulai mengintegrasikan dan mentransformasi informasi yang mereka
miliki.
Salah satu aspek yang paling
krusial dan bernuansa dari Taksonomi SOLO adalah pemahaman tentang transisi
kualitatif yang terjadi antarlevel. Publikasi Biggs & Tang (2007)
menjelaskan bahwa transisi dari Multistruktural ke Relasional bukanlah sekadar penambahan
jumlah fakta (transisi kuantitatif), melainkan sebuah "lompatan
kualitatif" yang fundamental. Fenomena ini kadang disebut sebagai
"Gestalt insight". Ini adalah momen penting di mana siswa, setelah
mengumpulkan beberapa fakta yang terpisah (Multistruktural), tiba-tiba melihat
bagaimana semua bagian tersebut saling "klik" dan membentuk gambaran
utuh yang koheren. Ini adalah momen "aha!" dalam pembelajaran, di
mana pemahaman holistik tentang subjek tiba-tiba terbentuk. Dengan demikian,
tujuan utama bagi pendidik seharusnya tidak hanya mendorong siswa untuk
mencapai tingkat yang lebih tinggi, tetapi secara spesifik untuk memfasilitasi
lompatan kualitatif ini, yang merupakan inti dari pemikiran kritis dan
pemahaman yang mendalam. Kemampuan ini menunjukkan mengapa SOLO sangat fokus
pada "struktur" hasil belajar, bukan hanya pada jumlah informasi yang
diberikan oleh siswa.
Lima Tingkat Pemahaman dalam
Taksonomi SOLO dan Indikator Kunci
Taksonomi SOLO mengklasifikasikan
respons siswa ke dalam lima tingkatan yang berbeda, menggambarkan progres dari
ketidakpahaman total hingga kemampuan untuk berpikir secara kreatif dan
abstrak.
1. Tingkat Pre-structural
Pada tingkat ini, peserta didik
menunjukkan ketidakmampuan untuk memahami tugas atau konsep yang diberikan.
Respons mereka cenderung tidak relevan atau hanya terdiri dari informasi yang
terdistorsi dan tidak terhubung sama sekali. Peserta didik mungkin menghindari
tugas atau memberikan jawaban yang benar-benar di luar konteks. Sebagai contoh,
saat ditanya tentang kebutuhan tumbuhan untuk fotosintesis, seorang siswa di
tingkat ini mungkin menjawab, "Tanaman butuh pupuk agar tidak layu,"
menunjukkan ketidakpahaman terhadap konsep fotosintesis itu sendiri.
2. Tingkat Uni-structural
Peserta didik di tingkat ini
mampu fokus pada domain yang relevan dan menggunakan satu aspek yang signifikan
dari tugas tersebut. Pemahaman mereka terbatas, dan mereka belum mampu
menghubungkan informasi yang berbeda. Contohnya, saat diminta menjelaskan fotosintesis,
siswa hanya menjawab, "Tumbuhan butuh air". Jawaban ini benar, tetapi
hanya mencakup satu elemen tunggal dari proses yang kompleks. Contoh lain
adalah kemampuan mendefinisikan sebuah kata sifat tanpa dapat memberikan contoh
yang beragam.
3. Tingkat Multi-structural
Pada tingkat ini, peserta didik
mulai mengidentifikasi dan menggunakan beberapa aspek atau elemen yang relevan
dari sebuah konsep. Mereka dapat membuat daftar atau menjelaskan beberapa
fakta, tetapi mereka gagal melihat hubungan atau meta-hubungan di antara
fakta-fakta tersebut. Dalam contoh fotosintesis, siswa dapat menyebutkan semua
elemen yang dibutuhkan—air, cahaya matahari, dan karbon dioksida—tetapi gagal
menjelaskan bagaimana unsur-unsur ini berinteraksi satu sama lain untuk
menghasilkan makanan. Mereka memiliki pengetahuan kuantitatif tentang beberapa
bagian, tetapi belum memiliki pemahaman kualitatif tentang keseluruhan.
4. Tingkat Relational
Di tingkat ini, peserta didik
menunjukkan "pemahaman mendalam" dengan mengintegrasikan semua aspek
yang relevan ke dalam sebuah struktur yang koheren. Mereka mampu melihat
hubungan antara bagian-bagian dan bagaimana bagian-bagian tersebut membentuk
keseluruhan yang bermakna. Ini adalah tahap di mana pemahaman menjadi lebih
terpadu dan menyeluruh. Contoh klasik adalah ketika siswa menjelaskan bahwa
air, cahaya matahari, dan karbon dioksida "digunakan oleh daun untuk
menghasilkan makanan melalui proses fotosintesis," menunjukkan pemahaman
akan hubungan antar elemen yang terintegrasi.
5. Tingkat Extended Abstract
Ini adalah tingkat tertinggi dari
pemahaman. Peserta didik dapat melampaui konteks yang diberikan,
menggeneralisasi prinsip-prinsip yang dipelajari, dan menerapkannya pada domain
atau situasi baru. Tingkat ini melibatkan pemikiran kreatif, refleksi, prediksi,
dan penciptaan ide-ide baru. Dalam contoh fotosintesis, siswa dapat menjelaskan
mengapa proses ini penting "bagi kehidupan di bumi secara
keseluruhan" dengan menghubungkannya dengan rantai makanan dan produksi
oksigen. Contoh lain adalah kemampuan untuk merancang sebuah proyek yang
mendorong penggunaan kata sifat secara efektif, menunjukkan pemahaman mendalam
yang dapat diterapkan dalam konteks baru.
Kata Kerja Operasional (KKO)
Taksonomi SOLO dan Analisisnya
Kata Kerja Operasional (KKO)
adalah alat esensial bagi pendidik untuk menerjemahkan tingkat pemahaman
teoretis dalam Taksonomi SOLO menjadi tujuan pembelajaran dan pertanyaan
asesmen yang dapat diukur dan diamati. KKO secara eksplisit menunjukkan jenis perilaku
atau tindakan yang diharapkan dari peserta didik pada setiap level. Tabel
berikut menyajikan KKO yang dikonsolidasikan dari publikasi Biggs & Tang
(2007).
|
Tingkatan SOLO |
Deskripsi Kemampuan |
Kata Kerja Operasional (KKO) |
|
Uni-struktural |
Mengidentifikasi satu aspek
tunggal yang relevan. |
Menghafal, mengidentifikasi,
mengenali, menghitung, mendefinisikan, menggambar, menemukan, memberi label,
mencocokkan, menyebutkan, mengutip, mengingat, membacakan, mengurutkan,
memberi tahu, menulis, meniru. |
|
Multi-struktural |
Mengidentifikasi beberapa aspek
yang relevan, tetapi belum terhubung. |
Klasifikasikan, jelaskan,
daftar, laporkan, diskusikan, ilustrasikan, pilih, ceritakan, hitung,
urutkan, buat garis besar, pisahkan. |
|
Relasional |
Mengintegrasikan semua aspek
relevan menjadi satu kesatuan yang koheren. |
Menerapkan, memadukan,
menganalisis, menjelaskan, memprediksi, menyimpulkan, meringkas, meninjau,
mendebat, mentransfer, membuat rencana, mencirikan, membandingkan,
mengontraskan, membedakan, mengatur, memperdebatkan, membuat kasus, menyusun,
meninjau dan menulis ulang, memeriksa, menerjemahkan, memparafrasekan,
memecahkan masalah. |
|
Abstrak Meluas |
Menggeneralisasi pemahaman ke
domain baru atau menciptakan sesuatu yang baru. |
Berteori, berhipotesis,
menggeneralisasi, merefleksikan, menghasilkan, menciptakan, menyusun,
menemukan, mengawali, membuktikan dengan prinsip dasar, membuat kasus
orisinal, memecahkan dengan prinsip dasar. |
Ekspor ke Spreadsheet
Analisis terhadap KKO ini
menunjukkan progres yang jelas dalam kompleksitas kognitif. KKO di tingkat
Uni-struktural, seperti menghafal dan mendefinisikan,
mencerminkan pemanggilan kembali satu unit informasi yang terisolasi. Ini
adalah aktivitas kognitif paling dasar. Bergerak ke Multistruktural, KKO
seperti
mengklasifikasikan dan menjelaskan
menunjukkan kemampuan untuk menangani beberapa unit informasi, meskipun secara
terpisah.
Pergeseran ke tingkat Relasional
membawa perubahan mendasar dalam jenis KKO. Kata-kata seperti menganalisis,
membandingkan, dan memecahkan masalah menekankan perlunya
integrasi dan sintesis informasi. Ini bukan lagi tentang mengingat fakta,
melainkan tentang memahami dan memanipulasi hubungan antar fakta. Akhirnya,
tingkat Abstrak Meluas menampilkan KKO yang menunjukkan kreativitas dan
pemikiran tingkat tinggi, seperti
menciptakan, berteori,
dan menggeneralisasi. KKO ini mencerminkan kemampuan untuk mengambil
pengetahuan yang terintegrasi (Relasional) dan menggunakannya untuk berinovasi
dan berpikir di luar batas yang ditetapkan.
Aplikasi Praktis Taksonomi
SOLO: Merancang Pembelajaran dan Penilaian Efektif
Penerapan Taksonomi SOLO tidak
hanya terbatas pada penilaian; taksonomi ini juga merupakan alat yang efektif
untuk merancang pembelajaran dan tugas yang selaras dengan tingkat pemahaman
yang diinginkan. Pendidik dapat menggunakan SOLO untuk menyusun tujuan
pembelajaran yang jelas dan pertanyaan yang secara sistematis mendorong siswa
dari pemahaman dasar ke pemikiran yang lebih kompleks.
Misalnya, dalam mata pelajaran
apa pun, pendidik dapat merancang serangkaian pertanyaan yang menargetkan
setiap level SOLO:
- Uni-struktural: "Sebutkan satu elemen
utama dari cerita pendek".
- Multi-struktural: "Sebutkan dan
jelaskan berbagai elemen cerita pendek".
- Relasional: "Bagaimana karakter dan
alur cerita saling berhubungan untuk menyampaikan tema?".
- Abstrak Meluas: "Rancanglah sebuah
cerita pendek orisinal yang menggabungkan elemen-elemen yang telah Anda
pelajari".
Penerapan SOLO yang paling
inovatif adalah sebagai alat metakognitif yang memberdayakan siswa untuk
memantau kemajuan belajar mereka sendiri. Alih-alih hanya menjadi kerangka
kerja bagi guru untuk menilai, SOLO dapat diajarkan langsung kepada siswa sehingga
mereka dapat menggunakan KKO dan deskripsi level sebagai rubrik pribadi. Dengan
demikian, siswa dapat bertanya pada diri sendiri: "Apakah saya hanya
menyebutkan fakta (Multistruktural), atau sudahkah saya membandingkan dan
mengontraskannya (Relasional)?".
Pergeseran ini mengubah peran
taksonomi dari sekadar alat asesmen menjadi alat pedagogis. Ini adalah
pergeseran dari asesmen untuk pembelajaran menjadi asesmen sebagai
pembelajaran. Dengan memahami taksonomi SOLO, siswa dapat mengambil kendali
atas proses belajar mereka, membuat keputusan yang lebih cerdas tentang langkah
selanjutnya, dan menyadari bahwa hasil belajar adalah buah dari strategi yang
efektif, bukan sekadar keberuntungan atau kemampuan bawaan.
Analisis Komparatif: Taksonomi
SOLO vs. Taksonomi Bloom
Meskipun Taksonomi Bloom adalah
taksonomi yang paling sering digunakan untuk tujuan pendidikan , perbandingan
dengan Taksonomi SOLO menunjukkan perbedaan filosofis dan fungsional yang
signifikan. Bloom berfokus pada
proses kognitif yang
diperlukan untuk menyelesaikan tugas, seperti mengingat, menganalisis, atau
mengevaluasi. Sebaliknya, SOLO berfokus pada
struktur hasil dari
pemahaman yang ditunjukkan oleh siswa. Perbedaan ini menghasilkan keunggulan
unik bagi SOLO dalam konteks asesmen.
Banyak pendidik merasa bahwa SOLO
lebih intuitif dan mudah digunakan untuk menilai kualitas pekerjaan siswa
karena taksonomi ini secara eksplisit berfokus pada bukti yang dapat diamati
dalam respons siswa. Sebagai contoh, lebih mudah untuk memberikan umpan balik
kepada siswa dengan mengatakan, "Anda telah menggunakan beberapa ide,
tetapi Anda belum membuat koneksi di antara mereka," daripada mengatakan,
"Anda telah menganalisis tetapi belum mensintesis".
Tabel berikut merangkum
perbandingan komprehensif antara kedua taksonomi berdasarkan data yang
tersedia:
|
Kriteria Perbandingan |
Taksonomi SOLO |
Taksonomi Bloom |
|
Fokus Utama |
Struktur hasil belajar yang
teramati. |
Proses kognitif yang
dibutuhkan. |
|
Sifat Hierarki |
Perkembangan dari kuantitatif
ke kualitatif, tidak selalu meningkat dalam kesulitan. |
Hierarki yang diasumsikan
linier dan bertingkat dalam kesulitan. |
|
Penerapan Utama |
Asesmen dan evaluasi hasil
belajar yang teramati, sangat berguna untuk umpan balik dan refleksi diri
siswa. |
Merumuskan tujuan pembelajaran
dan merancang kurikulum. |
|
Kemudahan Penggunaan |
Dianggap lebih intuitif dan
mudah dipahami oleh guru dan siswa untuk asesmen. |
Terkadang sulit untuk
membedakan antar level, terutama dalam konteks penilaian. |
|
Basis Teoretis |
Teori konstruktivis, berfokus
pada bagaimana siswa membangun pemahaman. |
Berakar pada behaviorisme,
meskipun revisinya lebih fleksibel. |
Analisis perbandingan ini
menunjukkan bahwa kedua taksonomi tidak harus dipandang sebagai pesaing,
melainkan sebagai alat yang saling melengkapi. Bloom dapat digunakan untuk
merancang kurikulum yang beragam dan mencakup berbagai tingkat kognitif,
sementara SOLO dapat digunakan untuk menilai kualitas hasil yang dicapai dan
memberikan umpan balik yang terperinci.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Taksonomi SOLO, seperti yang
diuraikan oleh Biggs dan Tang (2007), adalah kerangka kerja yang kuat dan
praktis untuk mengukur dan mempromosikan kedalaman pemahaman siswa. Model ini
menawarkan seperangkat Kata Kerja Operasional yang jelas dan spesifik untuk
setiap tingkat pemahaman, mulai dari yang paling sederhana (Uni-struktural)
hingga yang paling kompleks (Abstrak Meluas). Kemampuan SOLO untuk mengukur
"struktur" respons siswa—alih-alih hanya jumlah
informasi—menjadikannya alat yang sangat efektif untuk menilai kualitas
pembelajaran dan memberikan umpan balik yang bermakna.
Laporan ini merekomendasikan
bahwa para pendidik tidak hanya menggunakan Taksonomi SOLO sebagai alat
asesmen, tetapi juga sebagai alat pedagogis yang dapat diperkenalkan langsung
kepada siswa. Dengan mengajarkan siswa untuk memahami dan menggunakan tingkat-tingkat
SOLO untuk mengevaluasi pekerjaan mereka sendiri, pendidik dapat mempromosikan
metakognisi, kemandirian, dan motivasi intrinsik untuk "belajar cara
belajar". Menggabungkan SOLO dengan Taksonomi Bloom dapat menciptakan
pendekatan yang holistik: Bloom untuk merumuskan tujuan yang ambisius, dan SOLO
untuk mengukur sejauh mana tujuan tersebut telah dicapai dengan pemahaman yang
mendalam dan terintegrasi. Dengan demikian, Taksonomi SOLO menjadi fondasi
penting untuk mewujudkan pembelajaran yang lebih berkualitas dan efektif di
semua jenjang pendidikan.

0 Response to "Mengapa Taksonomi SOLO Relevan dalam Pembelajaran Abad ke-21"
Posting Komentar