Satu Islam
Sebagai orang Islam besar dan lahir dalam keluarga
Islam, tentu kita sangat miris akhir-akhir ini, melihat kehancuran di beberapa
negara-negar Islam. Kehancurang yang boleh jadi kita mendunganya dilakukan
secara sistemik. Kejadian di beberapa negara Islam itu, memang tidak
berpengaruh langsung pada otoritas kebangsaan kita, atau bahkan ada umat Islam
di Indonesia dan negara lainnya tidak merasa terganggu dengan masalah ini,
karena mereka masih dapat melaksanakan shalat dan melakukan kewajiban Islamnya
tanpa terganggu sama sekali.
Sebenarnya siapa yang terganggu dengan keadaan
ummat Islam di seluruh dunia. Dan benar saja tentangga, orang sekampung bila
ditanya bagaimana masalah di Palestina, Mesir, Ibanon, Irak, Iran, jawabn yang
paling serius adalah itu urusan mereka, bukan urusan kita di tempat ini.
Selebihnya tidak perlu Anda melanjutkan pertnyaan tentang apa yang anda rasakan
sebagai ummat Islam, karena keadaanya akan bias dan boleh jadi hanya perdebatan
yang Anda dapatkan.
Itulah potret asli dari masyarakat Islam
Indonesia, yang tidak menyadari bahwa belahan lain darii bumi Indonesia yang
menganut ajaran Islam adalah saudara-saudara mereka. sakitnya mereka adalah
sakitnya juga kita di sini sebagai ummat Islam, persaudaraan sesama ummat Islam
adalah persaudaraan sejati karena di tasbihkan oleh Allah swt dalam Al-Quran.
Ada beberapa hal yang mungkin menyebabkan ummat Islam kehilangan kesadaran
tentang persaudaraan itu; pertama, masalah nation, state, bangsa, negara.
Masalah ini adalah yang telah diperbincangkan para ulama dan ahli sejarah.
Apakah seharusnya ummat Islam berada dalam satu wilayah, dan wilayah yang
dimaksud adalah state, negara? Pendapat ini bila ditelusuri lebih banyak
meperhatikan Islam seperti pada masa Nabi dan para sahabat dengan model kekhalifaat
rill. Namun, pendapat lain bahwa model kekhalifaan telah berakhir dan pola
state negara menjadi model tanpa menghilangkan jejak Islam sebagai dasar
konstitusi negara. Kedua, masalah ukhuwah dan khilafiah, masalah ini bukanlah
hal yang mudah untuk diperbincangkan, masalah ini bagi sebagaian umat Islam
seakan menjadi dasar dan tolok ukur ke Islaman seseorang. Masalah khilafiah
dalam Islam bersumber dari kenyataan sejarah, dan kelemahan kemanusiaan kita.
Selama ini mudah sekali kita menuduh orang yang menganut suatu
aliran atau pendirian yang berbeda, sebagai sudah keluar dari Islam, kafir dan
sebagainya. Kita lupa pada ajaran al-Qur’an dalam hal ini:
“Dan tidaklah sama yang baik dan yang buruk itu.
Tangkislah dengan hikmah dan cara yang baik, sehingga permusuhan yang terdapat
di antara engkau dengan dia berubah menjadi seperti kawan akrab.” (Fushhilat : 34).
Pendekatan
ukhuwah Islamiah mesti lebih luas daripada sekadar dibidang politik dan
organisasi saja, melainkan harus meliputi pula pribadi-pribadi, karena
pribadi-pribadi itu lebih sering berperan. Apa perlunya diatas diadakan kerja
sama organisasi atau kelembagaan, tapi di bawah – diantara individu-individu –
tak habis-habisnya menjadi saling serang, tanpa pandang tempat dan lingkungan –
dalam khutbah Jumat dan dalam ceramah-ceramah. Semua ini dapat kita hindari,
asal kita mau menyingkirkan bahasa seseorang dan emosi, seraya meminta
seseorang berpikir lebih dewasa. Sudah bukan waktunya berteriak-teriak dengan
bahasa sloganistis, bombastis dan sebagainya - yang hanya didengar sendiri dan
kelompoknya saja. Sebaiknya tidak perlu dalam segala hal kita memakai label
agama, sambil mengobral kata-kata kafir atau munafik. Jika kita berbeda
pandangan dalam hal politik, lawanlah dengan bahasa politik. Jangan cepat-cepat
menggunakan agama – saling mengkafirkan untuk memperkuat posisi. Bukankah Nabi
melarang seorang mukmin saling mengkafirkan?
Ukhuwah
Islamiah itu berarti, pertama-tama, kita diikat oleh rasa solidaritas, oleh muamalah antara sesama kita – hendaknya
dipergunakan cara-cara damai dan penuh kasih sayang diantara orang-orang yang
bersaudara itu. Al-Quran mengajarkan kepada kita, agar jangan saling
menggungjing, saling memaki, saling memperolok, karena semuanya itu adalah
bibit-bibit permusuhan diantara sesama kita. Bagaimana kita akan membina
ukhuwah Islamiah kalau kita saling mencari kesalahan, dan bukan titik
pertemuan.
Dalam hal ini,
saya tertarik pada cara-cara orang-orang sufi berdakwah dan menyampaikan ajaran
Islam. Mereka menggunakan cara-cara simbolik – dalam bentuk puisi atau cerita
pendek yang indah-indah sekali, yang kadang tajam, lucu dan menggairahkan.
Orang-orang sufi membuat tafsir al-Quran tanpa mengatakannya sebagai tafsir
al-Quran. Bacalah puisi-puisi Jalaluddin Rumi, Attar atau Sa’di misalnya.
Itulah sebabnya sering saya mengatakan bahwa para sufi sebenarnya seniman atau
sastrawan dalam bentuk lain.
Bersikap
tegas terhadap orang-orang kafir dan bersikap lemah lembut terhadap sesama (asyidda’u ‘alal kuffar, ruhama’u bainahum) seperti
dilukiskan di dalam al-Quran, sering tidak kita hayati. Kita, di satu segi,
memang terlalu asyik dengan hal-hal dan upacara-upcara. Bukan agama yang lalu
dikaitkan dengan agama. Di segi lain, kita terlalu mudah menghambur kata-kata bid’ah – bid’ah dhalalah dan sebagainya
– yang disampaikan dengan tidak bijaksana. Padahal al-Quran mengajarkan kepada
kita agar bebicara dengan bahasa yang bijaksana. Akibatnya malah dendam dan
kebencian muncul di antara sesama umat. Misalnya, orang yang mengadakan tahlil dan talqin di pekuburan, dikatakan bid’ah
dengan cara kasar dan penuh kebencian. Padahal, sebaliknya, yang mengkritik
tahlil dan talqin ini lalu mengadakan pidato berpanjang-panjang, kadang
bergantian, juga di pekuburan
0 Response to "Satu Islam"
Posting Komentar