Kekaguman dari masa lalu
Saat kuliah di pascasarjana, seorang profesor senior bahkan sangat senior menjelaskan materinya dengan berbekal secarik kertas kumal yang sudah terlipat-lipat dan kelihatan dari warna kertas dan tintanya yang pudar dapat dipastikan sudah sangat tua, dengan tenang beliau (maha guru yang sangat saya hormati) dan menjadi salah satu inspirasi kemudian menjelaskan panjang lebar tentang dunia bahasa seluas samudra.
Tentu
akan sulit menjelaskan kembali kembali materi itu pada tulisan ini, yang
menjadi fokus adalah profesor-profesor tua kita ini, mereka memiliki model
pendidikan yang sungguh berbeda dengan profesor yang ada saat ini, dulu ketika
zamannya profesor tua kita ini kuliah sampai mendapatkan gelar tertingginya
dalam dunia pendidikan, sentuhan modernitas masih jarang mereka dapatkan, on line, lcd, layar sentuh, tablet, blackberry, e-book, dan seterusnya
merupakan produk modernitas yang tentunya belum ada saat mereka kuliah dan
menimba ilmu di perguruan tinggi, masa sulit mereka tentu dapat kita banyangkan
mencari literatur, referensi dalam atau luar negeri, membuat makalah dengan tulisan
tangan atau mesin ketik manual, sungguh sesuatu yang tidak dapat dibayangkan
oleh anak-anak zaman ini yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi.
Mereka,
profesor tua kita adalah pelajar dari zaman yang berbeda dengan kita saat ini,
mereka adalah pelajar yang langsung belajar pada sumber-sumber asli, membaca
buku sebanyak-banyaknya, melihat dan mengamati langsung. Peserta didik zaman
sekarang tinggal pilih, cari di internet, mengunduh e-book, atau lembaran yang dibutuhkan saja tanpa harus mencari ke
perpustakaan, cukup bermodalkan jaringan on
line, selesailah banyak masalah.
Dalam
benak kita, pernahkah ada terbetik bahwa proses modernisasi dalam satu sisi,
telah mengubah masyarakatnya larut dengan kecepatan yang luar biasa, yang
akhirnya berujung pada proses yang sifatnya instant (siap saji). Semua dengan
mudah tanpa bersusah payah. Pun dalam belajar. Siswa saat ini tidak perlu
membaca satu buku untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, cukup on line, dapat bukunya pilah bagian mana
yang diinginkan, kemudian lakukan C2P (copy-paste-print),
selesailah tugasnya. Otak kita berubah menjadi mesin dengan data terpenggal.
Pengalaman
menarik ini mungkin pernah dialami guru bahasa yang memberikan tugas pada
siswanya untuk membuat resensi buku baik fiksi maupun nonfiksi, siswa akan
mengumpulkan resensi tepat waktu, tetapi kebanyakan resensi itu berasal dari
resensi sudah jadi, milik orang lain yang mereka cari lewat googling di internet. Bangga siswa kita
dapat berinternet, tetapi kecewa karena mereka hanya mengambil milik orang
lain, memang suatu ironi dalam dunia pendidikan kita.
Dunia
memang telah berputar dengan cepat, tetapi dari putaran ini tidak semuanya
harus kita tinggalkan, masih ada pesan atau model belajar dari masa lalu yang
harus tetap menjadi pelajaran untuk kita di zaman ini. Salah satu yang hilang
dan harus ditumbuhkan adalah belajar dari sumber-sumber asli, tidak salah
mengunduh buku dari internet, akan tetapi akan lebih baik bila buku itu ada
ditangan, dan dibaca sampai pada bagian akhir. Membaca buku berarti membuka
jendela ilmu. Dan para profesor tua kita telah membuktikannya
0 Response to "Kekaguman dari masa lalu"
Posting Komentar