MAKALAH PERAN MASYARAKAT DAN GURU DALAM DETERMINASI KEARIFAN LOKAL BUGIS UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Pembangunan bangsa Indonesia tidak
pernah terpisahkan dari pendidikan. Pendidikan pada suatu bangsa menjadi kunci
dari terciptanya masyakarat yang teratur dan berbudaya. Pendidikan di Indonesia
telah mengambil bentuknya dalam bentuk formal, informal, dan nonformal. Secara
formal pendidikan telah dinisbahkan pada dunia sekolah dengan segala aturan
formal di dalamnya, sementara secara informal dan nonformal pendidikan
diserahkan pada orang tua, masyarakat dan lingkungan untuk membentuk peserta
didik.
Pendidikan menjadi acuan penting
dalam pertumbuhan dan peningkatan sumber daya manusia Indonesia. Oleh karena
itu, pendidikan harus berjalan sistemik dan berdampak sistemik pula, walaupun
tentu saja hasil pendidikan tidak dapat dilihat hanya dalam kurun waktu singkat
dan instan. Salah satu contoh adalah masyarakat Indonesia awal kebangkitan
merupakan hasil pendidikan domestifikasi kolonial yang hanya terkonsentrasi
pada anak-anak elite yang diharapkan melahirkan penguasa-penguasa baru membantu
proses kolonialisme yang sedang berlangsung. Begitulah pendidikan, setiap kurun
waktu akan terbentuk hasil pendidikan yang dapat dilihat dari citraan atau
perilaku yang tercipta dari sistem yang terbentuk, dan sistem itu digerakkan
oleh karakter orang-orang di dalamnya. Maka boleh jadi terjadi kecelakaan
sejarah bila suatu masa pendidikan diarahkan pada penguatan nilai yang tidak
tepat tidak sesuai dengan filosofi pendidikan itu sendiri.
Dengan demikian, penguatan
nilai-nilai luhur dalam pendidikan menjadi syarat mutlak untuk terciptanya
suatu pendidikan yang mumpuni yang akan melahirkan manusia-manusia Indonesia
yang berdaya saing dan unggul. Penanaman nilai-nilai dalam pendidikan dalam
dilihat dalam rekam jejak pola-pola yang terbentuk dari kualitas manusia
Indonesia yang lahir sebagai hasil dari sesuatu pendidikan nilai. Sebelum orde
baru dan era reformasi pendidikan pada masa-masa awal kemerdekaan, yakni selama
20 tahun Orde Lama berkuasa, sistem pendidikan di tanah air belum banyak
berkembang karena masa itu selalu berada dalam suasana "revolusi".
Sekolah-sekolah dan universitas negeri baru mulai dirintis oleh mereka yang
umumnya mengalami pendidikan di zaman Belanda. Boleh dikatakan bahwa sistem
pendidikan waktu itu sebagian besar merupakan warisan sistem pendidikan
kolonial, sama seperti sebagian besar sistem hukum nasional yang belum mampu
digantikan hingga kini. Sejak masa Orde Baru dimulai sistem pendidikan juga
agaknya masih belum banyak berkembang. Seperti banyak disinyalir oleh pakar
pendidikan negeri ini, sistem pendidikan Orde Baru sering dipolitisir, pola
pendidikan yang militeristik, penuh upacara dan penyeragaman dimana-mana, telah
membuat kaum muda terpasung tak berdaya dan tidak kreatif.
Pendidikan karakter sebagai
pendidikan nilai didasarkan pada fenomena demoralisasi bangsa Indonesia yang
ditampakkan dari meningkatnya
pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman,
pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan
obat-obatan,
pornografi, dan semakin maraknya korupsi, merupakan indikasi kuat terjadinya
demoralisasi bangsa, dan bila tidak diatasi, maka fenomena ini akan merusak
bangsa ini secara sistemik. Untuk itu pemerintah mencoba mengembangkan gagasan
tentang pendidikan karakter bangsa. Pendidikan karakter bangsa merupakan
seperangkat nilai-nilai luhur yang disarikan dari norma-norma luhur bangsa,
baik dari agama, budaya dan moralitas universal.
Tampaknya
pendidikan karakter bangsa telah mengambil bentuknya dalam seluruh kegiatan sekolah
dan secara informal diharapkan juga masyarakat dan orang tua mengambil peran
intervensi masing-masing untuk menguatkan pendidikan karakter bangsa ini.
Menilik
bahwa nilai luhur dari karakter bangsa adalah kumpulan nilai dari semua norma
utama dalam kehidupan manusia Indonesia yang termasuk di dalamnya adalah budaya
masyakat. Budaya yang hidup dalam masyarakat merupakan budaya yang hidup dan menyatu dalam
tradisi-tradisi baik lisan dan tulisan. Nilai luhur karena merupakan hasil
kontemplasi terhadap alam semesta oleh para leluhur. Khusus di beberapa tempat
di Indonesia, nilai luhur yang diturunkan menjadi tradisi masyarakat setempat
sebenarnya memiliki kekuatan yang dapat dijadikan penyeimbang dari gelombang
modernitas manusia saat ini.
Memang
disadari bahwa gelombang modernitas telah menenggelamkan budaya luhur dari
tradisi masa lalu yang penuh dengan hikmah dan petuah hebat. Kekuatan tradisi
yang bersumber dari nilai-nilai luhur sebenarnya adalah karakter yang sesunguhnya dari manusia
Indonesia yang awalnya dilahirkan dari tradisi luhur yang terkubur oleh proses
kolonialisme dan modernisasi. Akhirnya bangsa ini kehilangan akar budaya asli
yang disebut dengan kearifan lokal.
Kearifan
lokal merupakan gudang ilmu tanpa dasar dari tradisi masa lalu yang bila
dibangkitkan akan menjadi kekuatan baru dari pengembangan karakter bangsa ini.
Penguatan itu dapat dijumpai dalam berbagai aspek termasuk di dalam dunia
pendidikan.
Salah
satu yang dapat menjadi studi adalah kearifan lokal masyarakat Bugis lewat pangadereng
(atau panngadakkang dalam bahasa Makassar) serta
kekuatan sastra dalam pappaseng to riolo,
Sistem budaya ini menjadi acuan bagi orang Bugis dalam kehidupan sosialnya,
mulai dari kehidupan keluarga sampai pada kehidupan yang lebih luas sebagai kelompok
etnik.
Sistem budaya bugis atau panggadereng dan pappaseng to riolo bila dikaji secara mendalam merupakan inti dari
karakter orang Bugis atau to Ugi.
Karakter yang diliputi nilai-nilai luhur, yang bila dibangkitkan akan menjadi
penopang pendidikan karakter yang sedang dicanangkan pemerintah.
Hal inilah yang menjadi menarik dan
akan penulis bahas dalam makalah ini, sejauh mana panggadereng sebagai sistem tradisi Bugis mampu menajamkan
pendidikan karakter bangsa Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan.
B. Rumusan Masalah
Penulisan
Masalah yang diangkat makalah ini
adalah:
1. Bagaimana
sistem budaya Bugis panggadereng dan pappaseng to riolo dalam membentuk
karakter masyarakat Bugis?
2. Bagaiman
peran serta masyarakat dalam menanamkan sistem budaya Bugis panggadereng dan pappaseng to riolo?
3. Bagaiman
peran guru dalam menanamkan sistem budaya Bugis panggadereng dan pappaseng to
riolo pada peserta didik?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah
melakukan deskripsi terhadap:
1. Sistem
budaya Bugis panggadereng dan pappaseng to
riolo dalam membentuk karakter masyarakat Bugis.
2. Peran
serta masyarakat dalam menanamkan sistem budaya Bugis panggadereng dan pappaseng to
riolo.
3. Peran
guru dalam menanamkan sistem budaya Bugis panggadereng
dan pappaseng to riolo pada peserta didik.
D. Manfaat
Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan
dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Penulisan
makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran terhadap pola
pengembangan pendidikan karater di Indonesia
2. Penulisan
makalah ini diharapkan dapat mengangkat budaya Bugis sebagai ikon pengembangan
kepribadian bangsa Indonesia
3. Penulisan
makalah ini diharapkan dapat menjadi rujukan dalam diskusi-diskusi yang
berkaitan dengan kearifan lokal sebagai khasanah kebhinekaan bangsa Indonesia.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
A.
Pendidikan
Karakter Bangsa
1. Pengertian
Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter menurut Maksudin (2013:56) adalah penanaman nilai-nilai dasar
kemanusiaan lewat pendidikan untuk dikembangkan pada peserta didik sejak dini. Secara
sederhana, pendidikan
karakter dapat didefinisikan
sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa
atau pendidikan karakter adalah suatu usaha yang
disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan,
dan melakukan nilai-nilai etika yang inti (Thomas Lickona, 2010).
2. Tujuan
dan Fungsi Pendidikan karakter
Pendidikan
karakter lahir sebagai jawaban semakin derasnya arus demoralisasi yang terjadi
di Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan karakter diharapkan menjadi obat bagi
sakit yang diderita bangsa ini dan itu dimulai dari pendidikan.
Adapun
tujuan pendidikan karakter bangsa adalah (Kemendiknas, 2010:7-9):
a) mengembangkan potensi
kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang
memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
b) mengembangkan kebiasaan dan perilaku
peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi
budaya bangsa yang religius;
c) menanamkan jiwa kepemimpinan dan
tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
d) mengembangkan kemampuan peserta
didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
e) mengembangkan lingkungan kehidupan
sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan
persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan
(dignity).
3. Implementasi
pendidikan karakter di sekolah
Di sekolah implementasi pendidikan
karakter diharapkan melalui proses pembiasaan yang berkesinambungan. Hal ini
karena pendidikan karakter tidak mungkin dipaksakan dalam pribadi anak didik
tetapi tidak juga dibiarkan tanpa sistem yang baik. Oleh karena itu di sekolah
pemerintah telah membuat indikator-indikator sederhana yang tidak kaku dan
berproses baik di kelas maupun di luar kelas. Adapun indikator implementasi
tersebut antara lain:
1. Religius ;
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
INDIKATOR SEKOLAH; Merayakan
hari-hari besar keagamaan. Memiliki fasilitas yang dapat digunakan untuk
beribadah.Memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk melaksanakan
ibadah.
2. Jujur;
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
INDIKATOR SEKOLAH; Menyediakan fasilitas
tempat temuan barang hilang. Tranparansi laporan keuangan dan penilaian
sekolah secara berkala. Menyediakan kantin kejujuran. Menyediakan kotak saran
dan pengaduan. Larangan membawa fasilitas komunikasi pada saat ulangan atau
ujian.
3. Toleransi ;
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya
INDIKATOR SEKOLAH; Menghargai dan
memberikan perlakuan yang sama terhadap seluruh warga sekolah tanpa membedakan
suku, agama, ras, golongan, status sosial, status ekonomi, dan kemampuan khas. Memberikan
perlakuan yang sama terhadap stakeholder tanpa membedakan suku, agama, ras,
golongan, status sosial, dan status ekonomi.
4. Disiplin;
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.
INDIKATOR SEKOLAH; Memiliki catatan
kehadiran. Memberikan penghargaan kepada warga sekolah yang disiplin.
Memiliki tata tertib sekolah. Membiasakan warga sekolah untuk berdisiplin. Menegakkan
aturan dengan memberikan sanksi secara adil bagi pelanggar tata tertib sekolah.
Menyediakan peralatan praktik sesuai program studi keahlian (SMK).
5. Kerja
Keras ; Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar, tugas dan menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya.
INDIKATOR SEKOLAH; Menciptakan suasana
kompetisi yang sehat.Menciptakan suasana sekolah yang menantang dan memacu
untuk bekerja keras. Memiliki pajangan tentang slogan atau motto tentang kerja.
6. Kreatif
; Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru
dari sesuatu yang telah dimiliki.
INDIKATOR SEKOLAH; Menciptakan situasi
yang menumbuhkan daya berpikir dan bertindak kreatif.
7. Mandiri
; Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
INDIKATOR SEKOLAH; Menciptakan situasi
sekolah yang membangun kemandirian peserta didik.
8. Demokratis
; Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
INDIKATOR SEKOLAH; Melibatkan warga
sekolah dalam setiap pengambilan keputusan. Menciptakan suasana sekolah
yang menerima perbedaan. Pemilihan kepengurusan OSIS secara terbuka.
9. Rasa
Ingin Tahu; Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar.
INDIKATOR SEKOLAH; Menyediakan media komunikasi atau informasi (media cetak
atau media elektronik) untuk berekspresi bagi warga sekolah. Memfasilitasi
warga sekolah untuk bereksplorasi dalam pendidikan, ilmu pengetahuan,
teknologi, dan budaya.
10. Semangat
Kebangsaan; Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
INDIKATOR SEKOLAH; Melakukan upacara rutin sekolah. Melakukan upacara hari-hari
besar nasional. Menyelenggarakan peringatan hari kepahlawanan nasional. Memiliki
program melakukan kunjungan ke tempat bersejarah. Mengikuti lomba pada
hari besar nasional.
11. Cinta
Tanah Air ; Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. INDIKATOR SEKOLAH; Menggunakan
produk buatan dalam negeri. Menyediakan informasi (dari sumber cetak,
elektronik) tentang kekayaan alam dan budaya Indonesia. Menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
12. Menghargai
Prestasi; Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati keberhasilan
orang lain. INDIKATOR SEKOLAH; Memberikan
penghargaan atas hasil prestasi kepada warga sekolah. Memajang tanda-tanda
penghargaan prestasi.
13. Bersahabat/
Komuniktif; Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan
bekerja sama dengan orang lain. INDIKATOR SEKOLAH; Suasana sekolah yang
memudahkan terjadinya interaksi antarwarga sekolah. Berkomunikasi dengan
bahasa yang santun. Saling menghargai dan menjaga kehormatan. Pergaulan dengan
cinta kasih dan rela berkorban.
14. Cinta
Damai; Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang
dan aman atas kehadiran dirinya INDIKATOR SEKOLAH; Menciptakan suasana sekolah
dan bekerja yang nyaman, tenteram, dan harmonis. Membiasakan perilaku warga
sekolah yang anti kekerasan. Membiasakan perilaku warga sekolah yang tidak bias
gender.
15. Gemar
Membaca; Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya. INDIKATOR SEKOLAH; Program wajib baca. Frekuensi
kunjungan perpustakaan. Menyediakan fasilitas dan suasana menyenangkan untuk
membaca.
16. Peduli
Lingkungan; Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi. INDIKATOR SEKOLAH; Pembiasaan memelihara
kebersihan dan kelestarian lingkungan sekolah. Tersedia tempat pembuangan sampah
dan tempat cuci tangan. Menyediakan kamar mandi dan air bersih. Pembiasaan
hemat energi.
17. Peduli
Sosial; Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain
dan masyarakat yang membutuhkan. INDIKATOR SEKOLAH; Memfasilitasi kegiatan
bersifat sosial. Melakukan aksi sosial. Menyediakan fasilitas untuk menyumbang.
18. Tanggung jawab; Sikap dan perilaku seseorang
untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan,
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara
dan Tuhan Yang Maha Esa. INDIKATOR SEKOLAH; Membuat laporan setiap
kegiatan yang dilakukan dalam bentuk lisan maupun tertulis. Melakukan
tugas tanpa disuruh. Menunjukkan prakarsa untuk mengatasi masalah dalam lingkup
terdekat. Menghindarkan kecurangan dalam pelaksanaan tugas.
B.
Sistem
Budaya Bugis Panggadereng
1.
Pengertian
Panggadereng
Suku
Bugis terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adat yang keramat dan sakral,
yang disebut panggadereng (atau panngadakkang dalam bahasa
Makassar). Sistem budaya ini menjadi acuan bagi orang Bugis dalam kehidupan
sosialnya, mulai dari kehidupan keluarga sampai pada kehidupan yang lebih luas
sebagai kelompok etnik (Melalatoa, 1995). Sebagai suatu sistem, panggadereng
mempunyai beberapa unsur, yaitu (1) ade’, (2) bicara, (3) rappang,
(4) Wari’, dan (5) Sara’ (Melalatoa, 1995; Matullada dalam
Koentjaraningrat, 1997).
Kelima
pranata sosial ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Unsur
Ade’ merupakan komponen pangngadereng
yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata
sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :
1) Ade’ pura Onro, yaitu norma yang
bersifat permanen atau menetap dengan sukar untuk diubah.
2) Ade’ Abiasang, yaitu sistem
kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan
dengan hak-hak asasi manusia.
3) Ade’ Maraja, yaitu sistem norma baru
yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
b. Bicara
adalah norma-norma yang terkait dengan peradilan, yang kurang lebih sama dengan
hukum acara, Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang
mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada
objektivitas, tidak berat sebelah
c. Rappang
merupakan analogi, kias, perumpamaan atau ungkapan adat. Aturan yang ditetapkan setelah
membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan
keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.
d. Wari’
adalah klasifikasi benda, peristiwa, dan aktivitas dalam kehidupan
bermasyarakat menurut kategori-katergorinya. mengatur tentang batas-batas
kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan
ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang
e. Sara’
adalah pranata-paranata dan kaidahnya yang berasal dari Islam. Hukum Islam atau
syari’ah diintegrasikan ke dalam panngaderreng dan menjadi sara’
sebagai suatu unsur pokok dari panngaderreng dan kemudian menjiwai
keseluruhan panngaderreng.
2.
Panggadereng pembentuk karakter
masyarakat Bugis
Sebagai pranata sosial panggadereng menjadi sistem yang
mengatur pola tingkah laku masyarakat Bugis. Pada zaman saat panggadereng menjadi sistem dalam
pemerintahan raja-raja Bugis yang dianut sebagai dasar perilaku masyarakat yang
santun dan religius.
Beberapa dasar nilai masyarakat Bugis
dapat dilihat dari pemikiran Kajaoladiddo, Puang ri Manggalatung, Macae’ ri
Luwu, La Waniaga Arung Bila, dan Nenek Mallomo sebagai berikut (disari dari
makalah Anwar Ibrahim):
1)
Pemikiran
Kajaoladiddo
Nilai dasar kehidupan
adalah Lempuk, ada tongeng, getteng,
sipakatau, mappesona ri dewata seuwae dijabarkan menjadi norma panggadereng (ade, bicara, rapang, wari, dan sarak) yang disertai amaccang akan dinyatakan dengan obbi (seruan, dakwah), gauk (perilaku) yang akan melahirkan
terciptanya persatuan, kejayaan, kesejahteraan, dan terpeliiharanya hubungan
baik.
2)
Pemikiran
Puang ri Maggalatung
Nilai dasar kehidupan
manusia Bugis adalah ketika Sang Pencipta (pawinruk-e)
menurunkan tajang (cahaya), Sadda (firman) ke Ati Macinnong (hati nurani) terwujud menjadi nilai lempuk, ada tongeng, getteng, sipakatau, dll. Nilai ini dijabarkan dalam
norma panggadereng yang diharapkan
akan menata perilaku masyarakat Bugis (amppe
madeceng)
3)
Pemikiran
Maccae ri Luwu
Dasar perilaku manusia
adalah ati macinnong, madeceng kalawing
ati yang melahirkan ada patuju,
dan gauk patuju yang akan menjadi isi
dari panggadereng (ade, bicara, rapang, wari, dan sarak)
yang akan menciptakan persatuan (antara rakyat dengan rakyat, rakyat dengan
raja , dan negeri antar negeri) melahirkan kejayaan negara, melahirkan
kesejahteraan rakyat.
Melakukan dialog dengan ati macinnong menjadikan manusia
memiliki sikap-jiwa yang baik, terpelihara dari dari sikap jahat, dusta, culas,
dan menghina sesama manusia. Manusia yang madeceng ati akan mengeluarkan ada
patuju (kata benar, jujur) gauk-patuju (perilaku benar) karena ati macinnong
inilah yang menerima sadda (firman) dan tajang (cahaya).
4)
La
Waniaga, Arung Bila Soppeng
Dasar kehidupan
masyarakat Bugis berasal dari Ati macinnong (hati nurani) dan paramata mattappa
(lempuk e, ada tongeng, sirik e sibawa getteng, akkaleng e sibawa nyameng kininnawa yang
terwujud dalam perilaku dan perbuatan-barakkauk ati, lil, reso) semuanya berada
dalam panggadereng yang akan
melahirkan raja yang membina dan mengayomi, hakim yang tegas, teguh menjaga
warik dan melaksanakan rapang, aparat yang memahami adek, serta juru bicara
yang tidak berperangai buruk semuanya akan menjadikan masyarakat terayomi dan
sejahtera.
C.
Pappaseng to riolo
Pappaseng
adalah salah satu genre kesastraan masyarakat Bugis. Pappaseng dari paseng yang
berarti pesan yang harus dipegang teguh sebagai amanah, bahkan merupakan wasiat
yang perlu dipatuhi dan diindahkan (Sabriah, 2012:479) Pappaseng sebagai salah satu bentuk pernyataan yang mengandung nilai
etis dan moral, baik sebagai sistem sosial, maupun sebagai sistem budaya
dalam kelompok masyarakat Bugis. Dalam pappaseng terkandung
ide yang besarbuah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, dan
pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat yang baik dan
buruk.
Di kalangan masyarakat Bugis, pappaseng yang sangat dikenal antara lain:
Pappaseng yang berasal dari Tomaccaé ri Luwu, Kajao
Laliddong ri Boné, dan Arung Bila ri Soppéng. Ketiga tokoh
tersebut dikenal sebagai orang arif dan bijaksana, pada umumnya ditemukan
dalam Lontarak attoriolong di berbagai daerah Sulawesi Selatan (
Mattalitti, dkk., 1986:4).
Pappaseng
sarat dengan
makna dan pesan-pesan moral, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur
yang dapat dijadikan pedoman hidup, sebagai pengatur tingkah laku pergaulan
dalam masyarakat. Karena itu, perlu adanya upaya pengkajian secara serius guna
mengungkap kembali nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya terutama nilai
edukatif yang sangat diperlukan untuk pembinaan generasi sekarang dan generasi
yang akan datang.
BAB III
PEMBAHASAN DAN HASIL
A. Karakter Bangsa dalam Panggadereng
dan Pappaseng to riolo
Panggadereng sebagai pranata yang di
dalamnya terdapat prinsip pelaksanaan kehidupan masyarakat Bugis selalu
mengedepankan kekuatan karakter yang luhur (secara substantif panggadereng lahir dari ati macinnong) hati yang bersih yang
akan melahirkan niat dan perilaku yang bersih pula. Inilah karakter
sesungguhnya dari masyarakat Bugis yang teratur dalam pranata sosial panggadereng. Mereka yang mengerti panggadereng adalah orang yang santun,
jujur, bertanggung jawab, dan berbudi
pekerti luhur.
Karakter yang tampak dari mereka yang memahami
panggaderang sangat sejalan dengan karakter yang sedang dikembangkan oleh
pemerintah sebagai berikut:
1) Religius
Sikap
religius masyarakat Bugis tampak dalam pelaksanaan sarak dalam panggadereng, mereka yang memahami sarak
akan menjadi manusia yang tau siapa pencipta dan untuk apa diciptakan. Bahkan
perumusan panggadereng didasarkan
pada perlindungan dewata (pawinruk) seuwae’ merupakan cerminan sikap
religiusutas nyata yang dianut masyarakat Bugis.
2)
Jujur
Perilaku
jujur (lempuk) adalah perilaku nyata yang menjadi salah satu kategori paling
penting dalam pergaulan sosial masyarakat Bugis. Lempuk tertuang dalam hampir
semua deskripsi cerita dalam Lontara atau dalam pappaseng to riolo (pesan-pesan nenek moyang), bahkan apresiasi
terhadap lempuk adalah bentuk keniscayaan yang harus dilalui oleh semua warga
masyarakat Bugis mulai dari raja dan aparat (pemerintah) jujur dalam mengembang
amanah, rakyat menjaga kejujuran berarti menjaga sirik (malu)
3)
Toleransi
Hidup
dalam keragaman sudah menjadi sunnahtullah manusia, sejak dulu sampai saat ini
penolakan terhadap keragaman adalah ciri kehancuran dan kemunafikan. Tentu itu
sangat disadari oleh manusia Bugis, sehingga dalam pranata panggadereang
seseorang yang tahu adat (manggade’) adalah orang yang paham benar tentang
kebhinekaan, paham tentang toleransi. Bukankah konsep sipakalebbi, dan
sipakatau adalah pencerminan toleransi utuh dari seorang manusia Bugis.
4) Disiplin
Tindakan
yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan
merupakan karakter manusia Bugis yang taat pada ade’ taat pada kepemimpinan
yang amanah serta selalu menjaga diri dalam perbuatan yang melanggar hukum.
5) Kerja Keras
Kerja
keras atau dalam itilah Bugis reso,
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia Bugis dalam pappaseng resopa temangginggi namalomo naletei pammase
dawata adalah ungkapan yang menujukkan bahwa sikap berusaha keras dan
bersungguh-sunguh terkait dengan pamale
dewata artinya pemberian Tuhan. Masyarakat Bugis tahu bahwa hanya dengan
menunjukkan kualitas kerja makan Tuhan akan melihatnya/menilaianya.
6) Tanggung Jawab
Tidak ada manusia Bugis
yang akan lari dari tanggung jawab bila memahami istilah siri dari kearifan
Bugis. Mana siri-malu bila tidak bertanggung jawab adalah karakter ampuh yang
menjadi pemacu dan pemicu sikap tanggung jawab ke-Bugisan yang dimiliki
orang-orang Bugis.
Masih banyak prinsip
atau karakter yang ada dalam masyarakat Bugis yang sangat sesuai dengan prinsip
atau karakter yang dibangun oleh pemerintah, hal ini dapat dipahami karena
prinsip utama masyarakat Bugis memang berasal dari panggadereng yang lahir dari ati mappacing yang tentu akan
melahirkan sikap dan perilaku yang luhur pula.
Demikian halnya dengan pappaseng to riolo. Kehidupan manusia
tidak lepas dengan kehidupan masa lalu, karakterr yang terbentuk oleh masa lalu
dapat menciptakan kehidupan masa sekarang, begitupula dengan pappaseng to riolo. Pesan, petuah yang
disampaikan akan menjaga keharmonisan kehidupan orang-orang yang mengamalannya.
Contoh beberapa pappaseng to riolo yang sesuai dengan pendidikan karakter bangsa :
a) Aspek
kejujuran
Eppai
gaukna lempuk e:
Riasalaie
naddampengeng
Riaparennuanggi
temmaceko
Temmaangowaenggi tania olona
Tennaseng deceng rekko rialena;iyami naseng deceng
nasamarini padecenggi (depdikbud, 1989)
Artinya:
Empat hal yang ditimbulkan oleh kejujuran;
Disalahkan dia memaafkan
Dipercaya tidak khianat
Tidak menyerakahi yang bukan haknya
Tidak
mengangap sebagai kebaikan kalau kebaikan itu hanya untuk dirinya, yang
dinamakan kebaikan apabila kebaikan itu dapat dinikmati bersama
b) Keteladanan
Monro yoloi napatiroan
Monro tengga naparaga-raga
Monro munri naampiri
Terjemahan
Kepeloporan
menjadi petunjuk
Kehadirannya
di tengah memberi semangat
Keikkutsertaannya
sebagai pengaman
c) Persatuan
Rebba
sipatokkong, Mali siparappek
Siruik
menrek tessiruik nok
Malilu
sipakaingek
Maingepi
mupaja
Artinya:
Rebah saling menegakkan
Hanyut saling mendamparkan
Saling mengangkat ke atas, dan tidak saling menjatuhkan
Bila lupa saling memperingati sampai sadar
d) Etos
kerja
Deknamitu
musappai na dek mulolongengi
Deknamitu
mulolongengi na dek mupujiwi
Deknamitu
mupujiwi na dek musenggek i
Artinya:
Karena tidak dicari maka tidak di dapat
Karena tidak di dapat maka tidak disuka
Karena tidak disuka maka tidak disenangi
e) Tegas
dan berani
Emppa
tanranna to warani e
Seuwani,
temmatenrrenge nawanawanna napolei ada maja ada madeceng
Maduanna, temmengkalingae kareba,
naengkalingatoi,
Matellunna,
mataue ri paddioloi enrengge ripadimonri
Maeppana,
temmetaue mita bali
Artinya:
Ada empat tanda orang pemberani dan tegas
Pertama, tidak terkejut (tidak
terpengaruh) pikirannya apabila menerima berita baik maupun berita buruk.
Kedua, tidak menghiraukan berita namun
ia mendengar. Ketiga, khawatir apabila didahulukan akan tetapi tidak senang
bila dibelakangkan. Keempat, tidak gentar menghadapi lawan.
B. Relevensi Panggadereng
dan Pappaseng to riolo dalam
Masyarakat Modern
Kehidupan modern dipicu oleh dua hal yaitu
kemajuan industri dan komunikasi. Kemajuan ini melahirkan arus globalisasi yang
sedikit banyak telah mempengaruhi kehidupan manusia Indonesia, dari tiga aspek food, fun, and fashion, makanan,
kegembiraan, dan gaya atau pakaian.
Perubahan karakter bangsa Indonesia menjadi
lebih hedonis dan terstigma oleh pranata barat (kebudayaan Barat) telah
mengaburkan arti dan makna-makna nilai luhur bangsa Indonesia yang nota bene
berasal dari kearifan-kearifan lokal Nusantara.
Oleh karena itu, selayaknyalah dalam konteks
hari ini ketika pemerintah telah mencanangkan pendidikan karakter sebagai wujud
keprihatinan bangsa, maka semua stakehorlder pendidikan peserta didik, guru,
dan masyarakat bahu membahu untuk mewujudkan gerakan ini dengan kembali
mengembangkan kearifan lokal masing-masing untuk mendorong dan penguatkan
karakter peserta didik.
C. Peran serta Masyarakat dalam Menanamkan Sistem Budaya Bugis Panggadereng
dan Pappaseng to riolo
Masyarakat sebagai objek sekaligus subjek budaya
memiliki peran penting dalam pelestarian budaya itu sendiri. Proses modernitas
salah satunya adalah melahirkan desakralisasi cultura pada masyarakat modern,
hal inipula yang menyebabkan masyarakat modern kehilangan ruh kearifan lokal
yang penuh dimensi spiritual dan mencontoh kebudayaan barat yang notabene
mengikis ruh spritualitas dalam perkembangannya.
Oleh karena itu sekaitan dengan proses menemukan
kembali ruh kearifan lokal itu, maka masyarakat khususnya masyarakat Bugis
dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
1.
Mengembalikan citra bahasa Bugis di dalam rumah
dan lingkungannya sebagai perwujudan kecintaan akan bahasa Bugis yang sudah
mulai kehilangan penutur muda.
2.
Melakukan internalisasi makna-makna Panggadereng dan Pappaseng to riolo kepada
anak-anak mereka di rumah, dan lingkungan kerjanya.
3.
Menguatkan pesan karakter dalam Panggadereng dan Pappaseng to riolo dalam
citra dan perilaku mereka sehari-hari sebagai cerminan budaya dan kearifan
lokal
D. Peran Guru Dalam Menanamkan Sistem Budaya Bugis Panggadereng dan Pappaseng to riolo pada Peserta Didik
Guru dalam lingkaran pendidikan karakter menempati ruang yang
sangat sentral. Guru memiliki fungsi sebagai motivator sekaligus menjadi model
dari pendidikan karakter itu sendiri. Dalam Buku Panduan Internalisasi
Pendidikan Karakter di Sekolah disebutkan bahwa peranan guru dalam
pengembangan pendidikan karakter di sekolah berkedudukan sebagai katalisator
atau teladan, inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator.
Ketika berperan sebagai katalisator, maka keteladanan seorang guru
merupakan faktor mutlak dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik
yang efektif, karena kedudukannya sebagai figur atau idola yang digugu dan
ditiru oleh peserta didik. Peran sebagai inspirator berarti seorang guru harus
mampu membangkitkan semangat peserta didik untuk maju mengembangkan potensinya.
Peran sebagai motivator, mengandung makna bahwa setiap guru harus mampu
membangkitkan spirit, etos kerja dan potensi yang luar biasa pada diri peserta
didik. Peran sebagai dinamisator, bermakna setiap guru memiliki kemampuan untuk
mendorong peserta didik ke arah pencapaian tujuan dengan penuh kearifan,
kesabaran, cekatan, cerdas dan menjunjung tinggi spiritualitas. Sedangkan peran
guru sebagai evaluator, berarti setiap guru dituntut untuk mampu dan selalu
mengevaluasi sikap atau prilaku diri, dan metode pembelajaran yang dipakai
dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik, sehingga dapat diketahui
tingkat efektivitas, efisiensi, dan produktivitas programnya.
Guru sebagai barisan utama dalam pengembangan karakter peserta didik,
dapat menjadikan konsep kearifan lokal sebagai pendorong agar nilai-nilai
kearifan lokal dapat dipahami peserta didik. Konsep panggaderang dalam pranata
sosial masyarakat Bugis dapat menjadi payung pelaksanaan pendidikan karakter di
sekolah-sekolah berbasis budaya Bugis, dan tentu saja kearifan lokal ini juga
terdapat di setiap daerah di Nusantara ini, sehingga peran kearifan lokal akan
menjadi poin substansial dalam pendidikan .
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru dalam menjalankan
perannya sebagai dalam melakukan determinasi atau menguatkan kearifan lokal
seperti konsep panggadereng pada
peserta didik;
a.
Guru menampilkan diri sebagai sosok manusia Bugis utuh yang
memahami ade’ to ugi yang sangat
santun (praktik tabe’, iye’) dan
mengedepankan karakter Bugis di sekolah
seperti sipakatu, lempuk, getteng, dan
religius.
b. Guru dapat memasukkan konten kearifan
lokal dalam setiap pembelajaran khususnya pappaseng
yang dapat memotivasi peserta didik dalam menjalani kehidupannya.
c. Guru memberikan penguatan pada penggunaan
bahasa Bugis di sekolah sebagai pintu masuk pengetahuan tentang ke-Bugisan
dalam segala aspeknya.
d. Guru memperluas wawasan ke-Bugisan
sebagai bagian dari masyarakat Nusantara yang satu sama lain saling mendukung
dalam konsep negara kesatuan Republik Indonesia.
e. Guru dapat memanfaat perpustakaan untuk
menujukkan literatur Bugis kepada peserta didik, memperlihatkan kehebatan
masyarakt Bugis masal lalu yang melahirkan generasi hebat pada zamannya.
f.
Guru dapat membuat bahan ajar yang mengintegrasikan pesan-pesan
ke-bugisan di dalamnya.
Inilah peran guru dalam melestarikan budaya bangsa sekaligus
menjadi pendorong penguatan karakter peserta didik berdasarkan kekuatan lokal
yang berasal dari panggadereng dan pappaseng
to riolo yang tidak lekang oleh waktu karena menganut unsur universalitas
keluhuran di dalamnya. Hal lain adalah dengan cerminan penguatan karakter dari
dua sumber di atas, juga guru telah memiliki peran penting agar bahasa Bugis
tidak punah atau menjadi bahasa minor di tengah-tengah mayarakat Bugis.
BAB IV
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
B. Simpulan
Adapun kesimpulan yang dapat dipetik dari
penulisan makalah ini adalah:
1. Panggadereng dan pappaseng to riolo sebagai pranata sosial masyarakat
Bugis dapat menjadi informasi sekaligus menjadi pendorong penguatan pembentukan
karakter peserta didik yang bernuansa kearifan lokal.
2. Panggadereng dan pappaseng to riolo dapat menjadi acuan yang
dapat menyesuaikan dengan konsep kemoderenan, karena memiliki nilai-nilai
universal keluhuran yang akan tetap langgeng sepanjang masa.
3. Masyarakat dan Guru
dapat menjadikan Panggadereng dan pappaseng
to riolo sebagai pendorong dalam pembentukan karakter peserta didik.
C. Rekomendasi
1. Masyarakat dapat kembali
menciptakan gerakan cinta bahasa Bugis dengan mengajarkan anak-anaknya di rumah
untuk berbahasa Bugis dan mencintai pesan-pesan dalam pappaseng to riolo.
2. Guru sebagai penggerak
pendidikan karakter di sekolah, dapat menjadikan gagasan ini sebagai pendorong
dan melakukan determinasi-menguatkan diri untuk membentuk karakter peserta
didik lewat kearifan lokal masyarakat Bugis.
3. Pemerintah daerah Kab.
Barru dapat menjadi pelopor atas lahirnya gagasan-gagasan yang mengangkat
kearifan lokal masyarakat Bugis sebagai penopang keragaman nusantara, sekaligus
melakukan pelestarian budaya dari gerusan dan gempuran globalisasi.
4. Makalah ini dapat
menjadi rujukan pada penulis lainnya yang sedang melakukan eksplorasi tentang
Bugis sebagai betuk budaya dari aspek pembentukan karakter masyarakat Bugis.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Hamid 2010. Struktur Kebudayaan Sulawesi
Selatan. makalah
Anwar
Ibrahim. 2007. Lembaga Adat dan Pemeliharaan Nilai Bugis. Makalah
Anonim.
2012. Konsep Panggadereng (online) http://telukbone.blogspot.com/2012/06/konsep-pancanorma-konsep-pangadereng.html. Akses 17 September 2015
Kemendiknas. 2010. Buku Panduan
Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, Yogyakarta : Diva Press.
Kementerian Pendidikan RI. 2011. Buku Petujuk Pendidikan Karakter. Jakarta: Puskurbuk.
Maksudin. 2013. Pendidikan karakter
Non-Dikotomik. Jakarta: Pustaka Pelajar
Mattalitti, M. Arif, dkk. 1986. Pappaseng
To Riolotak. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa
Nasruddin.
2010. Kearifan Lokal dalam Masyarakat Bugis. Jurnal Sawerigading . Vol.16
Sabriah,
2012. Potensi Pappaseng to riolo
sebagai Pembentukan Kepribadian Bugis. Jurnal Sawerigading. Vol.18
Thomas Lickona, 2010. Educating for Character (Mendidik Untuk Membentuk Karakter),
Jakarta: Bumi Aksara
0 Response to "MAKALAH PERAN MASYARAKAT DAN GURU DALAM DETERMINASI KEARIFAN LOKAL BUGIS UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK"
Posting Komentar