Penguatan Karakter dalam Budaya Bugis
Sejarah
Singkat Suku Bugis
Bugis dituliskan dalam Wikipedia merupakan
kelompok
etnik
dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri utama kelompok etnik
ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga
administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga
dikategorikan sebagai orang Bugis. Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang
Bugis sebanyak sekitar enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di
berbagai provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, DKI
Jakarta,
Kalimantan
Timur, Kalimantan
Selatan,
Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau. Disamping itu orang-orang
Bugis juga banyak ditemukan di Malaysia dan Singapura yang telah beranak pinak dan
keturunannya telah menjadi bagian dari negara tersebut. Karena jiwa perantau
dari masyarakat Bugis, maka orang-orang Bugis sangat banyak yang pergi merantau
ke mancanegara.
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam
suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi
pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To
Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja
pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi.
Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja
mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut
dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara
dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami
dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar
di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna
Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I
La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam
tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di
Sulawesi seperti Buton.
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tetapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).
Budaya Bugis mengenal Panggadereng sebagai pranata yang di dalamnya terdapat prinsip pelaksanaan kehidupan masyarakat Bugis selalu mengedepankan kekuatan karakter yang luhur (secara substantif panggadereng lahir dari ati macinnong) hati yang bersih yang akan melahirkan niat dan perilaku yang bersih pula. Inilah karakter sesungguhnya dari masyarakat Bugis yang teratur dalam pranata sosial panggadereng. Mereka yang mengerti panggadereng adalah orang yang santun, jujur, bertanggung jawab, dan berbudi pekerti luhur.Karakter yang tampak dari mereka yang memahami panggaderang sangat sejalan dengan karakter yang sedang dikembangkan oleh pemerintah sebagai berikut:
1)
Religius
Sikap
religius masyarakat Bugis tampak dalam pelaksanaan sarak dalam panggadereng, mereka yang memahami sarak
akan menjadi manusia yang tau siapa pencipta dan untuk apa diciptakan. Bahkan
perumusan panggadereng didasarkan
pada perlindungan dewata (pawinruk) seuwae’ merupakan cerminan sikap
religiusutas nyata yang dianut masyarakat Bugis.
2) Jujur
Perilaku
jujur (lempuk) adalah perilaku nyata yang menjadi salah satu kategori paling
penting dalam pergaulan sosial masyarakat Bugis. Lempuk tertuang dalam hampir
semua deskripsi cerita dalam Lontara atau dalam pappaseng to riolo (pesan-pesan nenek moyang), bahkan apresiasi
terhadap lempuk adalah bentuk keniscayaan yang harus dilalui oleh semua warga
masyarakat Bugis mulai dari raja dan aparat (pemerintah) jujur dalam mengembang
amanah, rakyat menjaga kejujuran berarti menjaga sirik (malu)
3) Toleransi
Hidup
dalam keragaman sudah menjadi sunnahtullah manusia, sejak dulu sampai saat ini
penolakan terhadap keragaman adalah ciri kehancuran dan kemunafikan. Tentu itu
sangat disadari oleh manusia Bugis, sehingga dalam pranata panggadereang
seseorang yang tahu adat (manggade’) adalah orang yang paham benar tentang
kebhinekaan, paham tentang toleransi. Bukankah konsep sipakalebbi, dan
sipakatau adalah pencerminan toleransi utuh dari seorang manusia Bugis.
4)
Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan merupakan karakter manusia Bugis yang taat pada ade’ taat pada kepemimpinan yang amanah serta selalu menjaga diri dalam perbuatan yang melanggar hukum.
5)
Kerja
Keras
Kerja
keras atau dalam istilah Bugis reso,
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia Bugis dalam pappaseng resopa temangginggi namalomo naletei pammase
dawata adalah ungkapan yang menujukkan bahwa sikap berusaha keras dan
bersungguh-sunguh terkait dengan pamale
dewata artinya pemberian Tuhan. Masyarakat Bugis tahu bahwa hanya dengan
menunjukkan kualitas kerja makan Tuhan akan melihatnya/menilainya.
6)
Tanggung
Jawab
Tidak ada manusia Bugis yang akan lari
dari tanggung jawab bila memahami istilah siri dari kearifan Bugis. Mana
siri-malu bila tidak bertanggung jawab adalah karakter ampuh yang menjadi
pemacu dan pemicu sikap tanggung jawab ke-Bugisan yang dimiliki orang-orang
Bugis.
Masih banyak prinsip atau karakter yang
ada dalam masyarakat Bugis yang sangat sesuai dengan prinsip atau karakter yang
dibangun oleh pemerintah, hal ini dapat dipahami karena prinsip utama
masyarakat Bugis memang berasal dari panggadereng
yang lahir dari ati mappacing yang
tentu akan melahirkan sikap dan perilaku yang luhur pula.
1.
Pesan-Pesan
Berkarakter Bangsa dari Suku Bugis
Pesan atau dalam bahasa Bugis pappaseng dapat ditemukan dalam budaya
luhur to riolo atau nenek moyang suku
Bugis, karakter yang terbentuk oleh masa lalu inilah yang dapat menciptakan
kehidupan masa sekarang, begitupula dengan pappaseng
to riolo. Pesan, petuah yang disampaikan akan menjaga keharmonisan
kehidupan orang-orang yang mengamalkannya.
Contoh beberapa pappaseng to riolo yang sejalan dengan pendidikan karakter bangsa :
a)
Aspek
kejujuran
Kejujuran yaitu tidak adanya kontradiksi antara pikiran, perkataan, dan
perbuatan. Kejujuran merupakan sifat baik yang seharusnya dimiliki manusia.
Orang yang jujur adalah orang memahami perkataan harus sejalan dengan
perbuatan. Bahwa setiap perbuatan atau pilihan pasti ada konsekuensinya, sifat
jujur dapat membantu manusia mengakui setiap pilihan atau perbuatan itu dengan
terus terang.
Manusia dengan sifat tidak jujur dapat
menjadi “benalu” pada setiap kehidupan, korupsi adalah salah satu contoh sifat
ketidakjujuran. Diberikan amanah tetapi diselewengkan, diberikan tanggung jawab
tetapi tidak dijalankan dan sebagainya. Ketidakjujuran merupakan kebohongan,
dan satu kebohongan akan membuat kebohongan selanjutnyaan.
Konsep
kejujuran bertebaran dalam pesan-pesan to riolo sebagai bentuk bahwa dahulu
masyarakat Bugis adalah marayarakat yang menjunjung tinggi kejujuran. Sebagai
mana dapat dilihat pada papaseng yang dikutip dari berbagai sumber:
Eppai gaukna lempuk e:
Riasalaie
naddampengeng
Riaparennuanggi
temmaceko
Temmaangowaenggi tania olona
Tennaseng deceng rekko rialena; iyami naseng deceng
nasamarini padecenggi (depdikbud, 1989)
Artinya:
Empat hal yang ditimbulkan oleh kejujuran;
Disalahkan dia memaafkan
Dipercaya tidak khianat
Tidak menyerakahi yang bukan haknya
Tidak
mengangap sebagai kebaikan kalau kebaikan itu hanya untuk dirinya, yang
dinamakan kebaikan apabila kebaikan itu dapat dinikmati bersama
Dalam pappaseng juga
diungkapkan:
Ajak nasalaio acca sibawa lempu,
naiya riasenng-
é acca dekgaga masussa napogauk. Dek to ada masussa nabali ada madeceng
malem-mak- é, mateppek-i ri padanna tau. Naiya riyasenng- é lempu
makessinngi gaukna, patujui nawa-nawanna, madeceng ampena, nametau ri Dewata-é.
Catatan Tenritau Maddanreng
Majauleng, dari kumpulan Andi Pabarangi, dikutip oleh Haddade(1986:14)
Terjemahan:
Janganlah ditinggalkan oleh kecakapan dan kejujuran. Yang dinamakan cakap,
tidak ada yang sulit dilaksanakan, tidak ada juga pembicaraan yang sulit
disambut dengan kata-kata yang baik serta lemah lembut, percaya kepada sesama
manusia. Yang dinamakan jujur; perbuatannya baik, pikirannya benar, tingkah
lakunya baik, dan takut kepada Tuhan.
Terdapat pula ada pappaseng yang
memberikan nasihat untuk senantiasa berlaku jujur, yang dikutip dari percakapan
antara Kajao Laliddong dengan Arumpone.
Kajao Laliddong berpesan:
Ajak
muala waramparang narekko taniya waramparammu;
Ajak
muala aju ripasanré narekko tania iko pasanréi;
Ajak
muala aju riwetta wali narekko taniya iko mpettai.
Catatan La Mellong Kajao Laliddo
dari Lontarak Haji Andi Ninong, dikutip oleh Haddade (1986:15)
Terjemahan:
Jangan
mengambil barang-barang yang bukan milikmu;
Jangan
mengambil kayu yang disandarkan jika bukan engkau menyandarkannya; Jangan
mengambil kayu yang ditetak ujung pangkalnya jika bukan engkau yang menetaknya.
Selanjutnya dalam Pappaenna To
Maccaé ri Luwu juga diungkapkan konsep kejujuran sebagai berikut:
Aruwai sabbinna lempu- é, iyanaritu:
Napariwawoi ri wawo- é
Napariyawai ri yawa- é
Napariatauwi atawu- é
Naparilaenngi ri lalenng- é
Napari abeoi abeo- é
Naparisaliwenngi ri saliwenng- é
Naparimunriwi ri munri- é
Napariyoloi ri yolo- é
To Maccaé ri Luwu, dari Lontarak
Haji Andi Ninong, yang
dikutip oleh Haddade
(1986:16)
Terjemahan:
Ciri-ciri
kejujuran ada delapan hal:
Menempatkan di atas yang pantas di atas
Menempatkan di bawah yang pantas di bawah
Menempatkan di kanan yang pantasa di kanan
Menempatkan di kiri yang
pantas di kiri
Menempatkan di dalam yang pantas di dalam
Menempatkan di luar yang pantas di luar
Menempatkan di belakang yang pantas di belakang
Menempatkan
di depan yang pantas di depan
b)
Keteladanan
Monro yoloi napatiroan
Monro tengga naparaga-raga
Monro munri naampiri
Terjemahan
Kepeloporan
menjadi petunjuk
Kehadirannya
di tengah memberi semangat
Keikkutsertaannya
sebagai pengaman
c)
Persatuan
Rebba
sipatokkong, Mali siparappek
Siruik
menrek tessiruik nok
Malilu
sipakaingek
Maingepi
mupaja
Artinya:
Rebah saling menegakkan
Hanyut saling mendamparkan
Saling mengangkat ke atas, dan tidak saling menjatuhkan
Bila lupa saling memperingati sampai sadar
d)
Etos
kerja
Mengenai etos kerja masyarakat
Bugis, dijelaskan dalam makalah Samsudduha (syamsudduhaa.blogspot.com)
bahwa masyakarat Bugis dilukiskan
sebagai sifat dinamis, penuh semangat tanpa kenal putus asa, dan pantang mundur
yang dapat dilihat dalam pappaseng berikut ini:
‘Pura babbara sompekku
Pura
gucciri gulingku
Ulebbirenngi
tellenngé natowalié”
Dikutip oleh Amir,
dkk., (1982:56)
Terjemahan:
Layarku sudah berkembang,
Kemudiku sudah terpasang,
Kupilih tenggelam daripada kembali”
Demikianlah sifat yang hebat,
pantang mundur bila ingin mencapai sesuatu.
Terdapat pula sebuah elompugi yang
sudah sangat populer di kalangan masyarakat Bugis, sebagai berikut:
Resopa temmanginngi
Namalomo naletei
Pammase dewata
Elong tersebut juga ditemukan dalam syair elong yang agak berbeda, dalam tulisan
Ambo Enre(1992:14) yang dikutip oleh Said D.M.(1997), namun tidak mengubah
makna syair tersebut.Kutipannya dapat dilihat berikut ini:
Resopa natinulu
Masero naletei
Pammase Dewata
Maksudnya: Hanya bekerja yang tekun
Sering menjai titian
rahmat Ilahi
Papaseng lainnya mengenai etos kerja:
Deknamitu
musappai na dek mulolongengi
Deknamitu
mulolongengi na dek mupujiwi
Deknamitu
mupujiwi na dek musenggek i
Artinya:
Karena tidak dicari maka tidak di dapat
Karena tidak di dapat maka tidak disuka
Karena tidak disuka maka tidak disenangi
e)
Tegas
dan berani
Emppa
tanranna to warani e
Seuwani,
temmatenrrenge nawanawanna napolei ada maja ada madeceng
Maduanna, temmengkalingae kareba,
naengkalingatoi,
Matellunna,
mataue ri paddioloi enrengge ripadimonri
Maeppana,
temmetaue mita bali
Artinya:
Ada empat tanda orang pemberani dan tegas
0 Response to "Penguatan Karakter dalam Budaya Bugis"
Posting Komentar