Panggajak Tomatoa untuk Para Kontestan Pilkada di Sulsel
Oleh: Jamal Passalowongi
Panggajak tomatoa yang diartikan secara harfiah sebagai petuah dari
orang tua, merupakan bentuk sastra lisan yang sejak dahulu menjadi tata adab
dan budaya masyarakat kita. Mendengarkan petuah atau Panggajak tomatoa bagi
pendengarnya dapat menjadi petunjuk bagaimana dia bersikap dan bertindak dalam
bermasyarakat. Adab atau etika yang diperlihatkan boleh jadi berasal dari
sebagian petuah-petuah nenek moyang kita di masa lalu. Karena setiap petuah
atau panggajak itu mengandung nilai-nilai luhur universal yang
menjadi dasar dari etika seperti kejujuran, keteguhan, etos kerja, atau
moralitas dalam agama.
Salah satu aspek yang disentuh bahkan sangat ditekankan dalam panggajak
tomatoa adalah masalah kepemimpinan. Mengapa kepemimpinan menjadi lokus
dari panggajak tomatoa dari dulu sampai sekarang? Karena kepemimpinan
diperlukan untuk mengelola sistem yang sudah terbentuk dan mapan, pemimpin
menjadi navigator keselamatan dan perkembangan sistem yang dipimpinnya. Ketika
pemimpin menjadi tumpuan maka ia menjadi penerang dan cahaya untuk daerah
kepemimpinannya, disinilah peran pemimpin sangat dibutuhkan.
Jika merunut dari masa ke masa, fungsi kepemimpinan tetap sama,
hanya saja kepemimpinan di zaman dulu memiliki karakteristik dan pendekatan
yang berbeda dengan kepemimpinan modern, dipengaruhi oleh budaya, struktur
sosial, dan tantangan pada masanya. Dulu banyak pemimpin diangkat karena
keturunan atau dianggap memiliki kekuatan khusus. Misalnya, kerajaan-kerajaan
atau kekaisaran di berbagai negara sering kali dipimpin oleh keluarga yang
memiliki garis keturunan tertentu. Warisan kepemimpinan ini dianggap melegitimasi
kekuasaan mereka.
Sistim sentralistik dan militeristik menjadi salah satu ciri
kepemimpina zaman dulu, hal ini juga disebabkan kharisma yang besar dan
dianggap memiliki “aura” tertentu yang membuat orang lain secara sukarela
tunduk dan mengikuti mereka. Kharisma ini, baik dari sisi kemampuan berperang,
kebijaksanaan, atau ketegasan, menjadi modal penting bagi seorang pemimpin.
Keberbedaan karakterisitik kepemimpinan ini hanya terdapat pada
gaya dan model yang diterapkan, tetapi terkait dengan ide moralitas
kepemimpinan tetap sama, karena kepemimpinan memiliki fungsi melindungi,
mengayomi, menjadi lokus dari setiap persoalan di wilayah kepemimpinannnya.
Oleh karena itu, ketika berbicara tentang panggajak tomatoa,
maka relevansi universalitasnya tetap sama, seperti bagaimana pemimpin yang
jujur, amanah, pemurah, baik, dan sebagainya. Personalisasi raja dalam panggajak
tomatoa tidak menghilangkan karakter universalitas kepemimpinan yang
dimiliki panggajak tomatoa.
Kehadiran panggajak tomatoa dalam konteks saat ini
diharapkan dapat memberikan semangat pada calon pemimpin dan masyarakat untuk
mendorong agar jiwa kepemimpinan lahir dan menjadi cita yang sesuai dengan
fungsi kepemimpinan itu sendiri. Masyarakat Bugis-Makassar sejak dulu
menjadikan panggajak tomatoa sebagai patron untuk bertindak dan bertutur
laku, baik pada dimensi sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Pada aspek politik, ada beberapa panggajak tomatoa yang
masih relevan dan sesuai dalam konteks Pilkada di Sulawesi Selatan. Jika saja panggajak
tomatoa ini hadir dalam diri setiap kontestan, baik provinsi maupun daerah
maka dapat dipastikan kepemimpinan di Sulawesi Selatan ini akan menjadi “tanah
riamasei dewata sewaae.”
Beberapa panggajak itu antara lain: Issengi mennang, majeppu
lempuk-e kui ri arung mangkauk-e namakessing; naia laboe kui ri tosugik-e
namakes-sing; naia amalak-e kui ri tu panritae namakessing; naia sakbarak-e kui
ri pakkerek-e namakessing.
Naia arung mangkauk-e nadek lempukna, padatoisa
ebarakna saloe nadek uaena. Naia tosugik-e nadek labona pada toisa ebarakna
ellung maumpek nadek bosina. Naia to panritae nadek amalakna padatoisa ebarakna
bolae nadek lisekna. Naia pakkerek-e na dek sakbarakna padatoisa ebarakna
buwunnge nadek serokna.
Panggajak di atas menegaskan bagaimana kejujuran itu sebaiknya
dimiliki oleh raja atau penguasa, karena sifat jujur dalam dunia politik adalah
fondasi untuk membangun kepercayaan antara pemimpin dan masyarakat. Politikus
yang jujur dianggap dapat dipercaya, sehingga masyarakat merasa aman untuk
mendukungnya, mengetahui bahwa ia akan bekerja demi kepentingan bersama.
Kejujuran menunjukkan integritas dan tanggung jawab moral. Kejujuran berperan
penting dalam menghindarkan politisi dari tindakan korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaan.
Sementara sifat dermawan itu sebaiknya dimiliki oleh orang kaya. Orang
kaya memiliki kesempatan lebih besar untuk berkontribusi pada masyarakat.
Kedermawanan menunjukkan bahwa mereka memandang kekayaan bukan hanya sebagai
milik pribadi, tetapi sebagai amanah yang juga harus memberi manfaat bagi orang
lain. Dengan bersikap dermawan, orang kaya dapat membantu mengurangi
ketimpangan ekonomi di masyarakat. Bantuan dalam bentuk donasi, beasiswa, atau
program sosial bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang kurang mampu.
Amal itu sebaiknya dimiliki oleh ulama, sebagai pemimpin agama,
ulama diharapkan menjadi panutan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan beramal,
mereka menunjukkan contoh nyata tentang bagaimana mengimplementasikan
nilai-nilai agama, seperti kepedulian dan kasih sayang kepada sesama, sedangkan
kesabaran sebaiknya dimiliki oleh orang yang kurang beruntung, kesabaran
membawa ketenangan dan kedamaian dalam menghadapi ujian hidup. Ini
menghindarkan dari sikap tergesa-gesa atau putus asa yang bisa merugikan diri
sendiri dan orang lain.
Raja atau penguasa yang tidak jujur bagaikan sungai yang tak
berair. Orang kaya tanpa sifat derrnawan laksana awan tebal tanpa membawa
hujan. Ulama yang tidak beramal ibarat rumah tanpa perabot. Adapun orang miskin
tanpa kesabaran laksana sumur tanpa timba.
Eppai ritu sappona wanuae tennaullei muttamaiwi to
makgauk bawang; seuni, lempuk sibawa adek; maduanna, rapangge sibawa getteng;
matellunna, awaraningeng sibawa amaccang; maeppakna, labo sibawa palece.
Empat hal yang menjadi· pagar dari suatu negeri sehingga tidak
dapat ditembus orang-orang yang berbuat sewenang-wenang: pertama, kejujuran
bersama ketentuan adat; kedua, hukum serta keteguhan; ketiga, keberanian
disertai kepandaian; keempat, kedermawanan serta bujukan.
Jika para pemimpin ingin membentengi negerinya dari kejahatan
negeri lainnya maka dia harus memimpin dengan kejujuran serta meneguhkan hukum
diatas segalanya, mengayomi rakyat dengan hukum yang adil, menjadi dermawan
pada rakyat, menenangkan mereka, dengan keadilan dan kedamaian. Jika rakyat
mencintai pemimpinnya dan pemimpin mencintai rakyatnya maka negeri itu menjadi
aman.
Eppa seua-seua massenak solangi tauwe; seuani,
tomarajae namasekke; maduanna,tettangenngi gauk patujue ri sesena adek-e nenia
sarak-e; matellunna, salaie janci ri sininna anu nakjanciangge; maeppakna,
mellek perruk-e ri sininna bicaranna enrengge adaadanda ri makkuraie.
Ada empat hal yang dapat merusak seseorang: pertama, pembesar yang
berjiwa pelit; kedua, meninggalkan perbuatan baik yang sesuai dengan ketentuan
adat dan ajaran agama; ketiga, mengingkari janji yang pernah ia ucapkan; keempat,
tega hati dalam ucapan dan kata-katanya kepada kaum wanita.
Seorang pemimpin tidak boleh berjiwa pelit, pemimpin yang dermawan dapat
menciptakan sikap positif masyarakatnya karena merasa dihargai dan
diperhatikan. Seorang pemimpin harus menjadi panutan dalam melaksanakan ajaran
agamanya, sikap spritual yang ditunjukkan seorang pemimpin akan menjadi panutan
bagi rakyatnya.
Tellui uangenna majak ri arungge enrenge
tomakbicarae; seuani, pabellennge; maduanna, teppasipoleangengi adanna;
matellunna, mecaik-e ri gauk tessitinajae ripocaik.
Ada tiga hal yang sangat jelek bagi raja atau penguasa dan penegak
hukum: pertama, pendusta: kedua, tidak menepati kata-katanya: ketiga, marah
terhadap perbuatan yang tidak sepantasnya membuat ia marah.
Tiga masalah ini sangat perlu diperhatikan bagi pada calon pemimpin,
jika mereka berkuasa maka jangan menjadi pendusta dengan tidak menepati
janji-janji yang telah disampaikan saat kampanye karena akan menjadi preseden
buruk baginya bukan hanya di dunia juga kelak di akhirat.
Tellui uangenna pebaiccukiwi tana marajae; Seuani,
natettongiwi elok arung mangkauk-e; maduanna, makdettekenngi bicara pammase tomakbicarae;
matellunna, bacci narettekenngi bicaranna tomakbicarae.
Tiga hal yang menyebabkan sebuah negeri besar berubah menjadi
negeri kecil. Pertama, raja atau penguasa dikendalikan oleh nafsunya. Kedua,
hakim memutuskan perkara dengan dasar pilih kasih. Ketiga, hakim yang
memutuskan perkara dipengaruhi oleh sifat dengki.
Mereka yang berkontestasi saat ini, perhatikanlah tiga hal ini,
jika kelak terpilih dan daerahnya ingin maju, hindarilah menjadi penguasa yang
dikendalikan hawa nafsu jika terjadi maka keserakahan akan muncul, penguasa
yang serakah pasti akan mendukung korupsi dan oligarki kekuasaan. Jika kelak
berkuasa perhatikan hakim-hakim yang memutuskan perkara yang tidak adil, karena
kedengkian, karena sogokan, karena kepentingan politis, padahal para hakim yang
adil akan menjadi pilar negara dalam melindungi rakyat yang mencari keadilan.
Demikianlah ketika pemimpin mendengarkan panggajak tomatoa
ini maka kepemimpinannya akan menjadi penerang bagi orang-orang yang
dipimpinnya. Oleh karena itu, para kontestan yang sedang berkontestasi di
Pilkada Sulawesi Selatan, jadikanlah petuah-petuah ini sebagai local winsdom-kearifan
lokal yang dapat mengangkat harkat dan martabatnya sebagai calon pemimpin.
Melihat rakyatnya sebagai kumpulan orang-orang yang harus diayomi, dijaga dan
dimakmurkan kehidupannya. Bukan dilihat hanya sebagai kumpulan suara yang
saatnya akan ditinggalkan setelah terpilih menjadi peguasa baru.
Mari ciptakan Pilkada damai, jangan lupakan bahwa kita berada di
Sulawesi Selatan, negeri siri’ na pacce/pesse. Masiri’ki jika tidak
patuh pada aturan hukum, masiri’ki jika melanggar hukum, masiri’ki jika
tidak jujur dan amanah, masiri’ki jika apa yang kita ucapkan dalam
kampanye tidak dapat dipenuhi. Wallahu a’lam bissawab.
0 Response to "Panggajak Tomatoa untuk Para Kontestan Pilkada di Sulsel"
Posting Komentar