KONTEKTUALISASI SIRIK DI ZAMAN MODERN - JAMAL PASSALOWONGI -->

KONTEKTUALISASI SIRIK DI ZAMAN MODERN


Foto : Drama Sigajang Laleng Lipa
                                                          Sumber (dokumentasi pribadi)
 

Salah satu cuplikan dalam buku panggajak tomatoa adalah Cinnai Siri”mu nasabak Siri”emmitu rionroang ri lino. Nakko tak­ beni Siri”mu. wajo-wajomitu monro, malekbik mualai amatennge.  (Jagalah kehormatanmu karena kehormatan itulah dijadikan simbol kehidupan. Jika kehormatan/rasa malu itu sudah hilang, hanya bayangan saja yang tinggal, lebih mati saja)

Apa dan bagaimana Siri” itu

Hamid (2009) dalam buku Siri Dan Pesse : Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar, Toraja mendefinisikan siri' sebagai sistem nilai sosio-kultural dan kepribadian yang merupakan pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Siri' adalah kelayakan dalam kehidupan sebagai manusia yang diakui dan diperlakukan oleh sesamanya

Salah satu ahli yang banyak dirujuk adalah B.F. Matthes, seorang linguis dan etnografer Belanda. Matthes, sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat, menerjemahkan istilah siri' sebagai malu, rasa kehormatannya tersinggung, dan sebagainya. Ia mencatat tujuh kata dalam bahasa Belanda untuk mengartikan siri', termasuk "amat malu," "perasaan malu menyesali diri," "perasaan harga diri," "noda atau aib," dan "dengki." Secara mendasar, Matthes melihat siri' sebagai kombinasi antara "malu" (dalam artian hidup/kehidupan) dan "harga diri." Ia menggarisbawahi bahwa jika seseorang tidak lagi memiliki siri', maka ia akan kehilangan harga diri dan pada dasarnya dianggap tidak hidup.

Ahli lain seperti C.H. Salam Basjah dan Sappena Mustaring mengelompokkan siri' ke dalam tiga golongan:

  1. Siri' sebagai malu: Sama artinya dengan "malu" (bahasa Indonesia), "isin" (Jawa), atau "shame" (Inggris).
  2. Siri' sebagai daya pendorong: Merupakan kekuatan pendorong untuk menyingkirkan, membunuh, mengasingkan, atau mengusir siapa saja yang menyinggung perasaan mereka. Ini merupakan kewajiban adat atau norma.
  3. Siri' sebagai motivasi kerja: Daya pendorong yang juga bisa ditujukan untuk membangkitkan tenaga demi bekerja keras atau berusaha mati-matian mencapai suatu tujuan.

M. Natsir Said, seperti yang dikutip oleh Mattulada, mengemukakan bahwa siri' adalah perasaan malu yang memberi kewajiban moral untuk membunuh pihak yang melanggar adat, terutama dalam soal perkawinan. Ini menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran siri' dapat berujung pada tindakan ekstrem

Secara umum, para ahli sepakat bahwa siri' bukan sekadar rasa malu biasa. Ini adalah sebuah falsafah hidup yang dipegang teguh oleh masyarakat Bugis-Makassar, membentuk identitas sosial, martabat, dan kehormatan. Siri' terintegrasi dengan pangngadereng (adat) dan kerap disandingkan dengan pacce/pesse (rasa iba, empati, dan solidaritas) yang saling melengkapi. Kehilangan siri' berarti kehilangan harga diri dan dianggap sebagai aib terbesar, bahkan lebih berharga dari nyawa itu sendiri, seperti dalam ungkapan "siri' emmi ri onroang ri lino" (hanya untuk siri' itu sajalah kita hidup di dunia).

Siri” tidak dapat diartikan malu dalam bahasa Indonesia, karena dimensi maknanya berbeda. Jika kita ingin membandingkan Siri” dengan makna malu dapat kita lihat pada

Aspek

Siri’

Malu (umum)

Asal-usul makna

Budaya Bugis-Makassar (nilai adat dan etika sosial)

Umum dalam banyak budaya

Makna inti

Harga diri, kehormatan, martabat; bersifat sakral

Rasa tidak nyaman karena aib, kesalahan, atau celaan

Subjek

Kolektif: individu & keluarga/komunitas

Individual

Konsekuensi sosial

Bisa sangat serius; menuntut pemulihan atau pembalasan

Tidak selalu berdampak sosial atau budaya

Respons yang diharapkan

Tindakan nyata untuk menjaga atau mengembalikan kehormatan

Bisa pasif, seperti menghindar atau diam

Nilai budaya

Nilai luhur, etika hidup, bahkan dianggap “jiwa” orang Bugis-Makassar

Emosi biasa, tidak selalu dijunjung tinggi

Bisa hilang?

Kehilangan siri’ berarti kehilangan kehormatan → aib besar

Malu bisa berlalu dengan waktu

Dalam masyarakat Bugis-Makassar, siri’ bukan sekadar perasaan — ia adalah prinsip hidup, moralitas, dan standar etika. Orang yang tidak punya siri’ dianggap sebagai; Tidak tahu malu, Tidak punya harga diri, Tidak layak dihormati.

Jenis-Jenis Siri’ (Menurut Beberapa Peneliti Adat Bugis):

  1. Siri’ na pacce/pesse: gabungan antara harga diri dan solidaritas empatik.

Konsep siri' sering kali dihubungkan dengan pacce, yaitu rasa iba, empati, dan solidaritas. Keduanya saling melengkapi. Pacce mendorong seseorang untuk bertindak demi melindungi siri' orang lain, sementara siri' mendorong seseorang untuk tidak membiarkan dirinya atau orang yang dicintainya dipermalukan.

  1. Siri’ masiri’: rasa malu yang muncul dari dalam diri (internal).

Ini adalah siri' yang datang dari diri sendiri, yaitu rasa malu atau tidak enak hati ketika tidak mampu memenuhi harapan sosial atau ketika melakukan kesalahan. Ini adalah bentuk refleksi diri dan upaya untuk menjaga martabat. Misalnya, jika seseorang tidak bisa menepati janji atau tidak bisa membantu kerabat yang membutuhkan.

Masiri' untuk melakukan kejahatan adalah siri' paling tinggi karena hampir semua kejadian dari masiri' dan mappakisiri' atau mate siri' diakibatkan ketidakmampuan seseorang memberikan siri' pada dirinya untuk berbuat sesuatu yang dilarang oleh adat dan agama.

Jika seorang pemuda menahan diri memberikan siri' pada dirinya maka dia tidak akan melakukan pemalakan, tawuran, dan kejahatan lainnnya. Seorang yang akan koruptor tidak akan jadi korupsi jika siri' masih melekat pada dirinya. Jika seorang pelajar memberikan siri' pada dirinya maka itu menjadi motivasi hebat untuk berprestasi, dan ketika manusia masiri' menaruh rasa malu/kehormatan pada dirinya maka kejahatan akan diminimalkan.

  1. Siri’ ripakasiri’: rasa malu yang timbul karena direndahkan/dipermalukan oleh orang lain.

Ini adalah dimensi siri' yang paling dikenal, yaitu malu atau terhina akibat perlakuan orang lain. Jika kehormatan seseorang atau keluarganya dicoreng, siri' ini akan muncul dan menuntut pembalasan atau pemulihan nama baik. Contohnya adalah jika ada anggota keluarga perempuan yang dipermalukan

  1. Siri’ mate siri’na: keadaan ekstrem di mana orang rela mati demi kehormatan.

Mate Siri”na dalam hal ini ada dua makna yang harus dipahami. Pertama mate Siri”na artinya kehormatannya-harga dirinya terlah tercoreng yang menyebabkan dia melakukan tindakan ektream seperti balas dendam atau bunuh diri. Kedua adalah orang sudah kehilangan siri (kehormatan-harga diri) melakukan apa saja tanpa pertimbangan Siri” baik secara adat-budaya atau agama. Dia sudah menghilangkan rasa malunya dalam berbuat jahat sehingga dia kehilangan nilai Siri” dalam dirinya.

Bagaimana memperlakukan Siri” di dunia modern, ketika semua hal bahkan termasuk budaya-siri, agama mengalami desakralisasi akibat individualisme dan materialisme. Apakah benar Nilai seperti siri’ yang dulu sakral, kolektif, dan dijunjung tinggi, kini sering dianggap kuno atau tidak relevan.

Tentu dalam hal ini kita tidak mungkin melakukan replikasi dengan membawa Siri” dalam konteks modern, karena beberapa kaidah dalam Siri” itu sendiri sudah tidak relevan dengan hukum dan nilai universal yang dianut masyarakat modern misalnya, kekerasan dengan balas dendam, dll. maka yang harus dilakukan adalah reinterpretasi. Siri” adalah berkaitan dengan Etika tanggung jawab: Menjaga nama baik bukan dengan balas dendam, tetapi dengan integritas dan akhlak yang tinggi. Siri’ sebagai kontrol diri: Di dunia penuh provokasi (media sosial, konflik politik), siri’ bisa menjadi pengendali moral agar tidak reaktif, tidak mempermalukan diri sendiri dan keluarga dan Siri’ sebagai kesadaran sosial: Tetap menghargai martabat orang lain dalam interaksi digital maupun nyata.

Siri” dapat menjadi landasan moral bangsa bukan hanya masyakat Bugis saja, rasa malu sebagai penjaga akhlak menjaga kehormatanya sesuai agama yang dianutnya dan budaya luhur bangsa Indonesia. Siri” mendorong penguatan etika diri dan publik, menjaga diri tidak melakukan hal yang memalukan tidak jujur dan menjadi jahat, seperti malu untuk korupsi, malu karena terlambat, atau malu karena tidak bisa belajar dengan baik dan sebagainya.

Aja mualai sirikmu! Aja mupakkasiri i alemu! Taroi sirik Alemu!

 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "KONTEKTUALISASI SIRIK DI ZAMAN MODERN"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel