Dibuang Setelah Berjasa: Kenapa Kita Melupakan Para Pensiunan Hebat?" Hari ini saya kembali merasakan ironi kehidupan, saat duduk berdesakan - JAMAL PASSALOWONGI -->

Dibuang Setelah Berjasa: Kenapa Kita Melupakan Para Pensiunan Hebat?" Hari ini saya kembali merasakan ironi kehidupan, saat duduk berdesakan

 


Hari ini saya kembali merasakan ironi kehidupan, saat duduk berdesakan menunggu antrean di rumah sakit. Di sebelah saya, duduk seorang bapak—tampak sudah berumur. Dengan basa-basi khas Indonesia, percakapan kami pun mengalir. Ternyata, beliau adalah pensiunan pejabat dari salah satu instansi pemerintah. Selama 30 tahun, ia mengabdi dengan sepenuh hati, menjadi tulang punggung daerah, mewakili bupati, sekda, hingga menjadi narasumber tetap dalam berbagai kegiatan resmi. Bahkan, ia pernah menerima penghargaan dari presiden.
Saya mengangguk kagum. Tapi kekaguman itu perlahan berubah jadi keprihatinan, saat nada suaranya mulai menurun dan wajahnya tertunduk lesu. "Sekarang, saya seperti bukan siapa-siapa lagi," katanya dengan mata berkaca-kaca. Tidak ada lagi undangan, tidak ada lagi telepon dari orang-orang yang dulu ia bantu naik jabatan. Bahkan untuk acara umum seperti hari jadi kabupaten atau sekadar ramah tamah, namanya tak lagi masuk dalam daftar.
Saya terdiam. Inilah yang disebut Post Power Syndrome (PPS)—kondisi psikologis yang dialami banyak pensiunan yang dulu memegang kekuasaan atau peran strategis. Mereka terbiasa dihormati, dipanggil ke sana ke mari, merasa berguna, dibutuhkan, bahkan diidolakan. Tapi begitu pensiun, seolah dunia melupakan mereka.
Apakah mereka salah? Tidak. Yang perlu kita cermati adalah bagaimana masyarakat dan institusi memperlakukan mereka setelah masa jabatannya usai. Terlalu sering, kita hanya "menggunakan" mereka saat berkuasa, lalu "membuang" mereka ketika sudah tidak punya posisi.
Kita yang masih aktif sering lupa, bahwa menghargai tidak harus menunggu seseorang berkuasa. Bahkan, dalam banyak kasus, cukup dengan mengundang mereka dalam sebuah acara, meminta masukan, atau sekadar menyapa mereka dengan hormat, itu sudah cukup memberi arti besar bagi para pensiunan ini.
Ironis, di negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai timur, kita malah sering melupakan mereka yang pernah membangun fondasi tempat kita berpijak hari ini. Mereka tidak butuh tepuk tangan—mereka hanya ingin diingat.
Maka, sebelum kita bicara soal etika, akhlak, atau penghormatan pada orang tua, mari tanya pada diri sendiri: Sudahkah kita menghargai mereka yang telah selesai mengabdi?

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Dibuang Setelah Berjasa: Kenapa Kita Melupakan Para Pensiunan Hebat?" Hari ini saya kembali merasakan ironi kehidupan, saat duduk berdesakan "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel