Minat Baca Tinggi, Minat Menulis Membisu
Karena satu undangan terkait literasi baca-tulis maka saya mencoba “meng-obrak abrik” google, chat GPT,dan Gemini, menyatukan puluhan data terkait literasi dasar baca-tulis. Melihat data-data yang terpampang rasanya ada saja yang mengganjal di hati, tentu untuk masalah data saya harus menerima dengan tangan terbuka, karena itu adalah hasil penelitian, walaupun saya juga mencari komparasi data yang lain. Salah satu komparasi yang menjadi pemikiran adalah jika memang dan menurut data seperti itu literasi membaca meningkat mengapa minat menulis rendah?
Indeks Pembangunan Literasi
Masyarakat (IPLM) 2024. Dengan skor nasional sebesar 73,52, capaian ini
melampaui target 71,4 dan menunjukkan lompatan signifikan dari tahun sebelumnya
yang hanya mencapai 69,42. Tingkat Gemar Membaca (TGM) pun menunjukkan tren
positif, meningkat dari 66,70 pada 2023 menjadi 72,44 pada 2024. Namun di balik
optimisme ini, terdapat satu ironi besar: minat menulis masyarakat Indonesia
masih tertinggal jauh, seolah menjadi bayang-bayang dari geliat literasi
membaca yang mulai menggeliat.
IPLM mencakup tujuh indikator
penting, termasuk pemerataan layanan perpustakaan, ketersediaan koleksi bacaan,
dan tingkat kunjungan masyarakat. Survei ini melibatkan 514 kabupaten/kota
dengan lebih dari 174 ribu responden berusia 10–69 tahun. Hasilnya mencerminkan
perbaikan dalam perilaku membaca, terutama di kalangan anak muda. Sebanyak 88%
anak muda Indonesia menyatakan suka membaca, meskipun intensitasnya
beragam—hanya 42% yang membaca setiap hari. Di tingkat provinsi, Jawa Barat
mencatat skor tertinggi dalam kegemaran membaca (75,07), disusul Jawa Tengah
dan DI Yogyakarta. Sulawesi Selatan, meskipun tak berada di jajaran tiga besar,
menunjukkan data frekuensi dan durasi membaca yang menjanjikan, serta akses
internet yang cukup tinggi, yang berpotensi mendukung aktivitas literasi
digital.
Namun geliat literasi ini masih
belum berhasil melahirkan budaya menulis yang kuat. Berdasarkan data Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, minat menulis di kalangan Generasi Z hanya
mencapai 32,5%, jauh di bawah Generasi X (55,8%) dan Generasi Y (52,6%). Di
tengah arus teknologi yang memberi kemudahan akses informasi dan media
ekspresi, generasi muda justru lebih banyak menjadi konsumen ketimbang produsen
pengetahuan.
Tingkat melek huruf Indonesia
yang mencapai 99,87% tidak otomatis berbanding lurus dengan produktivitas
menulis. Indonesia hanya menerbitkan sekitar 18.000 judul buku per
tahun—sekitar 72 judul per satu juta penduduk. Bandingkan dengan Inggris, yang
menerbitkan 184.000 judul buku per tahun atau 2.875 judul per satu juta
penduduk. Ini bukan sekadar soal selera, tapi soal ekosistem literasi yang
timpang: membaca didorong, tapi menulis tidak cukup difasilitasi, dihargai,
ataupun diteladankan.
Rendahnya minat menulis
disebabkan oleh berbagai faktor struktural dan kultural. Kurangnya kepercayaan
diri, terutama dalam kemampuan menulis, membuat banyak orang enggan
mengekspresikan diri dalam bentuk tulisan. Media sosial yang menawarkan
konsumsi cepat dan visual membuat tulisan panjang kehilangan daya tarik,
terutama di kalangan muda. Lebih jauh, kurangnya insentif dan penghargaan
terhadap penulis, baik dalam ranah kreatif maupun akademik, menjadikan menulis
sebagai aktivitas yang tidak menarik secara sosial maupun ekonomis. Bahkan
dalam dunia akademik, kontribusi Indonesia terhadap jurnal ilmiah global hanya
0,012%, terpaut jauh dari Singapura (0,179%).
Daya baca, yang mencakup
pemahaman teks, kecepatan, serta kemampuan memproses informasi, memang
merupakan fondasi penting. Tapi tanpa disertai minat menulis yang kuat,
kegiatan literasi hanya akan menjadi aktivitas satu arah: mengonsumsi tanpa
mencipta. Padahal, menulis bukan sekadar produk akhir dari literasi, melainkan
proses berpikir kritis yang mampu memperdalam pemahaman, mempertajam logika,
dan memperkuat komunikasi. Tanpa tradisi menulis yang kuat, pemikiran-pemikiran
besar dari masyarakat tidak akan terdokumentasi, tidak akan berkembang, dan
lebih parah lagi—tidak akan dikenang.
Oleh karena itu, sudah saatnya
pembangunan literasi tidak berhenti pada penguatan budaya membaca semata.
Pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat sipil harus memperluas cakupan
program literasi hingga ke ranah ekspresi produktif: menulis. Perlu ada ruang
yang lebih luas bagi penulis pemula untuk berekspresi, penghargaan yang memadai
terhadap karya tulis, serta figur panutan yang mampu menyalakan inspirasi
menulis, terutama bagi generasi muda.
Indonesia mungkin telah membalik halaman dalam budaya membaca. Namun bab tentang menulis masih tertinggal jauh. Dan sebuah bangsa takkan bisa menulis sejarahnya sendiri, jika rakyatnya tak terbiasa menulis-ingat sejarah itu di tulis bukan di bacakan- jika dibacakan itu namanya folklor. wallau alam.
0 Response to "Minat Baca Tinggi, Minat Menulis Membisu"
Posting Komentar