MADDOJA BINE SEBAGAI BENTUK KEARIFAN LOKAL - JAMAL PASSALOWONGI -->

MADDOJA BINE SEBAGAI BENTUK KEARIFAN LOKAL



Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dengan aneka ragam budaya yang berbeda satu daerah dengan daerah lainnya. Semua itu menjadikan masyarakat Indonesia menjadi negara yang kaya dengan konsep-konsep kearifan lokal. Walaupun terlihat dengan budaya yang  berbeda tetapi konsep kearifan lokal di Indonesia ini terlihat tampak sama secara universal, misalnya tentang kisah-kisah lokal saat menggambarkan kebaikan dan kejahatan sebagai sesuatu yang azali, bahwa kebaikan selalu berada di atas segalanya. Atau gambaran tentang kejahatan tidak terlepas dari profil kejam, sangar, dengan berbagai variasi seperti raksasa jahat, dewa pemarah, penyihir jahat, putri kejam, raja zalim, dan sebagainya.
Kearifan lokal ini tentu tidak muncul dengan sendirinya, tetapi berangkat dari proses ratusan bahkan ribuan tahun pada masyakat tertentu. Masyarakat sebagai suatu entitas maka masyarakat itu hidupa dengan beragam kebutuhan individu di dalamnya. Untuk mengikat semua individu itu maka disepakatilah sistem budaya dan pemerintahan yang dengan sendirinya akan membentuk karakter masyarakat. Hal ini mudah dilihat misalnya bagaimana masyarakat Barat yang dibangun dengan sistem materialisme melahirkan budaya dan sisetem pemerintahan yang berbeda dengan mansyarakat Timur yang dulunya dibangun dengan sistem immaterial.
Pada suatu bangsa, kearifan budaya lokal adalah energi potensial yang dapat mengarahkan tujuan dari suatu masyarakat tertentu. Namun, karena penetrasi budaya superior maka budaya inferior menjadi tergerus dengan sendirinya.
Indonesia termasuk negara yang susah payah menghambat budaya superior yang terus bergerak menghancurkan budaya-budaya inferior di seluruh Nusantara. Hasilnya adalah masyarakat Indonesia mulai melupakan kearifan lokal yang seharusnya masih tumbuh dan berkembang seiring perkembangan zaman.
Saat ini berbagai ragam budaya masyarakat hanya tertinggal pada artefak-artefak budaya yang tidak lagi hidup menyentuh kehidupan. Tradisi lokal kini hanya menjadi penghias atau pemanis kunjungan para turis. Bahkan yang ironis beberapa tradisi itu kemudian hilang dan punah dalam ingatan masayarakatnya.
Salah satu budaya lokal di Sulawes Selatan adalah tradisi maddoja bine. Tradisi ini sarat dengan kearifan lokal di masanya. Girah atau semangatnya sangat kental pada masyakat agraris, masyarakat petani dengan padi sebagai sumber utama. Maka proses maddoja bine adalah rangkaian tidak terpisahkan dari kepercayaan masyarakat Bugis tentang padi itu sendiri. Kepercayaan ini berakar dari kearifan memuliakan  the main source sebagai makanan pokok/utama masyarakat Bugis. Dari sumber utama inilah lahir prosesi yang menjadi tradisi sakral di tengah masayarakat. Hal yang sama dapat dijumpai pada masyarakat pantai berbagai kearifan lokal yang bersumber dari proses memuliakan the main source tadi juga berkembang menjadi tradisi maccera tasi.
Di masa lalu tradisi ini kemudian mencari sumber-sumber yang memiliki kearifan yang sama untuk mendapatkan legalitas kesakralan dan transendensi, maka kisah Meompalo karellae dan Sang Hiang Sri dalam sureq Ilagaligo dikanonisasi sebagai rujukan tradisi maddoja bine.
Tradisi maddoja bine di masa lalu menjadi salah satu kegiatan sakral masyarakat hampir semua wilayah di Sulawesi Selatan. Maka begitupula dengan kisah Sang Hiang Sri dan Meompalo karellae menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Pembacaan Kisah ini seperti pembacaan kitab suci yang tidak dilakukan oleh sembarang orang, dan semua memiliki prosesi tersendiri.
Bagaimana dengan maddooja bine saat ini. Maddoja bine kini hanya dapat dijumpai di beberapa daerah-daerah di Sul-Sel, itupun tidak lagi dilakukan secara lengkap sebagaimana awalnya tradisi ini berjalan, beberapa perangkatnya dihilangkan bukan karena tidak ingin dilakukan tetapi mencari pelaku utamanya sudah hilang. Misalnya passurek Meompalo karellae kini tidak dapat ditemui lagi dibeberapa daerah. Pun bila ada, mereka adalah golongan orang tua yang sudah uzur dan tidak memiliki generasi passurek selanjutnya. Atau daun-daun tertentu pembungkus “bine” seperti daun jati dan kelapa boleh jadi sudah mulai jarang dan dilakukan modifikasi dengan bahan lain.
 Maka dapat di katakan bahwa prosesi maddoja bine tidak akan pernah lengkap dilakukan oleh masyarakat saat ini karena perangkat aslinya sudah tidak terjangkau baik secara makna maupun secara ritual. Karena hampir dapat dipastikan mereka yang masih maddoja bine tidak lagi membaca sureq meong palo tetapi menggatinya dengan barsanji atau mabbaca-baca (membaca doa untuk tolak bala misalnya). Sifat sakralitasnya mungkin mengalami degradasi tetapi pemeliharaan ritual maddoja bine tetap saja dilakukan sebagian masyarakat.
Hari ini masyarakat yang tetap melakukan maddoja bine masih dapat dianggap memelihara ritus-ritus leluhurnya dengan memuliakan the main source. Agar bine (benih) yang ditebar dapat selamat sampai menjadi padi dengan keberkahan di dalamnya. Terjadinya desakralisasi juga memang dipengaruhi oleh masuknya ajaran Islam dalam ritual maddoja bine. Ajaran Islam yang masuk dalam tradisi maddoja bine
Mengembalikan ruh maddoja bine seperti di masa lalu tentu membutuhkan semangat dan tenaga besar. Yang harus dilakuan saat ini adalah melakukan revitaslisasi, mencoba menggali kembali makna-makna yang ada dibalik tradisi maddoja bine dan kisah meong palo. Karena makna-makna itu sebagai kearifan lokal masih memiliki ketersambungan dengan konsep-konsep universal kebaikan yang disebut dengan karakter bangsa saat ini.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "MADDOJA BINE SEBAGAI BENTUK KEARIFAN LOKAL"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel