Sastra sebagai Wahana Pengungkapan Gagasan para Mistikus
Dunia seni sering kali menjadi obyek para mistikus untuk menuangkan atau menyampaikan ajaran-ajarannya, karena seni merupakan ekspresi mental. Pengetahuan tentang realitas yang tidak nampak serta pengalaman individual yang sangat hebat tentu sangat sulit dideskripsikan secara lingual, sehingga dunia sastra merupakan pilihan para mistikus untuk menggambarkan pengalaman batin mereka.
Ungkapan-ungkapan para mistikus ini
terekam dalam bentuk puisi, tari atau nyanyian yang diselingi musik. Dalam
dunia Islam kita mengenal Jalaluddin Rumi, yang menyampaian ajarannya lewat
para Darwis yang berputar menari
diiringi tabuhan musik tertentu dengan irama yang membuat mereka ekstase (istilah yang digunakan apabila
telah berada diluar kesadaran pribadi-ijtihad),
dalam hal ini Abdul Hadi W.M (1985) mengemukakan :
Dalam
tradisi sufisme sendiri disamping tari dan musik, puisi memainkan peranan
sentral, khususnya dalam menyampaikan ajaran-ajaran yang tidak bisa disampaikan
secara deskriftif.
Itulah sebabnya, sebagaimana dikemukakan
oleh F.C.Hapold (dalam Hadi, 1985) diantara gerakan mistik di dunia, sufisme
merupakan gerakan dan ajaran mistik yang paling banyak melahirkan penyair
mistik. Hal ini dapat terjadi karena (i) sastra khususnya puisi yang menawarkan
pengalaman estetik dan literer dan sufisme yang menawarkan pengalaman mistik
rohaniah sama-sama sangat personal dan unik selain universal, (ii) pengalaman
mistik yang dibuahkan oleh sufisme selalu memiliki kualitas puitis dan estetis
dan sebaliknya pengalaman puisitis dan estetis yang dibuahkan oleh sastra
khususnya puisi juga memiliki kualitas mistis, dan (iii) sastra khususnya puisi
juga memiliki kemungkinan terbatas dalam menciptakan hubungan baru antara
gagasan keagamaan dengan keduniawian, antara imaji profane dengan sacral,
antara dunia batin dengan dunia lahir, antara yang rohaniah dengan lahiriah.
Dari penjelasan tersebut maka
tidaklah mengherankan apabila sastra dinegeri-negeri Islam atau negeri yang
pernah dirambah Islam selalu mengandung tema-tema sufistik. Sastra Arab, Sastra
Persia, sastra Turki, sastra Hindi dan sastra Urdu, misalnya, sangat sarat
dengan tema sufistik. Bahkan sastrawan-sastrawannya sebagian adalah sufi.
Sastra Sufi atau sastra yang bernapaskan sufisme diketahui mendorong, bahkan
mempelopori kebangkitan sastra nasional di negeri-negeri tersebut diatas.
Dengan ditulangpunggungi oleh sufi-sufi sekaligus penyair-penyair seperti
Rabi’ah al-Adawiyah, Abu Sa’id, Dzun Nun, Nikmatullah, Fariduddin Attar,
al-Hujwiri, Ibnu Farid, Ibnu Atha, Abu al-Athahiyah, Haci Bayram, Omar Kayamdan
Iqbal, sosok sufisme dalam sastra demikian menonjol dan kuat.
Sastra sufi atau yang bertemakan
sufisme selalu lengket dengan agama Islam sehingga pada waktu Islam berkembang
dan tersebar keberbagai penjuru dunia, sastra sufi atau bertemakan sufisme juga
ikut berkembang dan tersebar keberbagai penjuru dunia. Di dunia Melayu malahan
bentuk sastra sufi inilah yang banyak berperan membangkitkan sastra Melayu Baru
(Hadi, 1984:99). Dengan ditokohi oleh sufi sekaligus sastrawan seperti Hamzh
Fansuri, Nuruddin Arraniri, Syamsuddin al-Sumatrani, Bukhari al-Jauhari, dan
Abdurrauf Singkel, sastra Melayu yang bertemakan sufisme mencapai
kemajuan-kemajuan yang sangat berarti. Ini bisa dibuktikan dengan lahirnya
karya-karya seperti Syair Perahu dan
Rubaiyat (Hamzah Fansuri), Kitab Seribu Masalah (Abdurrauf Singkel), dan
Tajussalalja (Bukhari al-Jauhari dan Gurindam XII (Raja Ali Haji). Karya-karya
ini sarat dengan muatan mistik Islam atau sufisme.
Selanjutnya sufisme yang masuk dalam
sastra-sastra daerah seperti Jawa, sastra Bugis, sastra Sunda, dan lain-lain.
Dalam sastra Jawa hal ini tercermin pada karya-karya Yosodipura, Ranggawarsita,
dan lain-lain. Cermin dan Desas-desus
karya Yososdipura sarat dengan gagasan sufisme, (Hadi, 1984:233-235). Serat Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita
menampakkan gagasan sufisme kuat. Begitu juga suluk dan serat dalam sastra Jawa
Abad XVII sarat dengan gagasan sufisme Pantheisme yang bercampur dengan tradisi
Pra-Islam dan Kejawen (simuh, 1988:2) sementara itu, dalam sastra Sunda gagasan
sufisme tercermin dalam suluk-suluk Cirebon. Suluk-suluk Cirebon pada umunya
bertemakan sufisme syuhudi atau sunni dan mengajarkan martabat tujuh (simuh, 1988).
Dalam
sastra modern atau kontemporer jejak gagasan sufisme dapat ditemui dalam
karya-karya Khalil Gibran dan Muhammad Iqbal. Karya-karya kedua orang ini
demikian sarat dengan gagasan sufisme. Hal ini bisa disimak dalam karya Sang Nabi dan Sayap-sayap patah (Khalil
Gibran) dan Asrari Khudi adan Javid Nabah
(Muhammad Iqbal). Dalam sastra Indonesia karya-karya Amir Hamzah mencerminkan
tema dan gagasan sufisme. Abdul Hadi W.M. (1984:244-248) memasukkan beberapa
puisi Amir Hamzah ke dalam antologi puisi yang berjudul Sastra Sufi, yaitu Doa,
Berdiri Aku, Padamu Jua, dan Tetapi Aku demikian juga karya-karya Emha
Ainun Najib (99 nama Tuhanku, seribu
mesjid satu jumlahnya, Cahaya Maha
cahaya), dan lain-lain yang mencerminkan bahwa sastra merupakan media atau
sarana para penyair ataupun para mistikus untuk menuangkan gagasannya.
0 Response to "Sastra sebagai Wahana Pengungkapan Gagasan para Mistikus"
Posting Komentar