Guru: Riwayatmu Kini – Antara Harapan dan Realitas - JAMAL PASSALOWONGI -->

Guru: Riwayatmu Kini – Antara Harapan dan Realitas

 

Jamal Passalowongi (Pegiat Literasi Kab. Barru)

Selamat Hari Pendidikan 2025 untuk semua guru di Indonesia! Sejak beberapa hari lalu, saya merasa terdorong untuk menulis sebagai penghormatan pada Hari Pendidikan tahun ini. Namun, selalu ada kesulitan dalam merangkai ide tentang pendidikan. Pertama, karena topik pendidikan begitu luas dan kompleks, layaknya benang kusut yang harus diurai satu per satu. Kedua, pidato Presiden Prabowo mengenai pentingnya kesenjangan prasarana pendidikan hingga kesejahteraan guru memberikan sedikit harapan, namun juga menyoroti banyak hal yang masih harus diperbaiki. Oleh karena itu, saya membuka beberapa tulisan yang pernah saya buat, saya revisi dan sesuaikan dengan konteks Hari Pendidikan Nasional 2025, karena rasanya masalah sertifikasi guru mulai kehilangan relevansinya.

Seiring dengan lahirnya berbagai regulasi tentang guru dan pendidikan, seperti Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri tentang Sertifikasi Guru, dunia pendidikan Indonesia mengalami perubahan besar. Program sertifikasi, yang diperkenalkan dengan janji memberikan tunjangan profesi bagi para guru yang lulus sertifikasi, disambut suka cita. Dahulu, profesi guru sering dipandang sebelah mata, identik dengan kesederhanaan dan keterbelakangan dalam hal kesejahteraan. Namun, kini dengan adanya tunjangan profesi, status sosial dan ekonomi guru meningkat drastis. Banyak guru yang dulu termasuk golongan menengah ke bawah, kini telah bergeser ke kelas menengah atas.

Namun, kebahagiaan ini datang dengan sejumlah tantangan. Proses sertifikasi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Sertifikasi guru bukanlah pemberian tanpa syarat—ia datang dengan tuntutan profesionalisme yang lebih tinggi. Tunjangan profesi yang diberikan seharusnya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas, kompetensi, dan profesionalisme guru. Pertanyaannya, apakah realitas yang ada kini sesuai dengan harapan yang tercantum dalam undang-undang? Apakah das sollen (apa yang seharusnya) dan das sein (apa yang terjadi) telah berjalan seiring?

Seorang profesor pernah mengemukakan tiga kemungkinan besar yang akan terjadi pasca-sertifikasi: pertama, guru akan terangkat derajat sosialnya di tengah masyarakat; kedua, guru akan menjadi bagian dari perputaran ekonomi nasional, khususnya dalam sektor transportasi dan perumahan; dan ketiga, guru akan menjadi pionir dalam penguatan ilmu pengetahuan dengan rajin membaca dan menulis.

Hipotesis pertama terbukti dengan jelas. Derajat sosial guru memang mengalami perubahan signifikan. Guru yang dahulu sering dianggap profesi kelas dua kini mulai mendapat penghargaan lebih, terutama di kalangan masyarakat. Dulu, profesi guru sering dianggap sebagai pilihan terakhir bagi mereka yang gagal dalam pencapaian lainnya. Bahkan, banyak orang tua yang menentang anak-anaknya untuk menjadi guru, karena profesi ini identik dengan keterbatasan ekonomi. Cerpen Putu Wijaya yang menggambarkan kekhawatiran seorang ayah terhadap masa depan anaknya jika memilih menjadi guru—karena masalah ekonomi—menunjukkan betapa suramnya pandangan terhadap profesi ini di masa lalu. Namun sekarang, meskipun belum sepenuhnya merata, guru mulai diperhitungkan dalam konteks ekonomi Indonesia. Banyak guru yang kini menjadi bagian dari kelas menengah atas berkat tunjangan profesi yang cukup besar, yang sebelumnya sulit dijangkau.

Namun, meskipun pergeseran ini tampaknya positif, permasalahan belum berhenti pada peningkatan status ekonomi semata. Pergeseran ini perlu disertai dengan peningkatan substansi peran guru dalam dunia pendidikan. Apakah peningkatan ekonomi ini berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pengajaran? Apakah kesejahteraan yang lebih baik membuat guru lebih berkomitmen pada kualitas pendidikan atau hanya berfokus pada kesejahteraan finansial?

Namun yang lebih menggelitik dan ironis adalah hipotesis ketiga yang diajukan profesor tersebut: bahwa dengan adanya tunjangan profesi, guru akan semakin memperdalam ilmu pengetahuan mereka, banyak membaca, dan menjadi penulis yang produktif dalam media publikasi seperti surat kabar, jurnal, dan penerbitan buku. Di sinilah letak permasalahan besar dari implementasi sertifikasi ini: meskipun tunjangan profesi telah diterima banyak guru, peningkatan kualitas pengajaran yang seharusnya terjadi melalui penguatan pengetahuan dan kemampuan menulis justru tidak terlihat secara signifikan.

Para guru seharusnya tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi pionir dalam dunia pendidikan, menghasilkan karya-karya moumental yang dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Namun kenyataannya, tidak banyak guru yang menunjukkan perubahan signifikan dalam hal ini. Mengapa? Salah satu jawabannya adalah karena banyak guru, meskipun sudah menerima tunjangan profesi, tetap terjebak dalam rutinitas sehari-hari yang pragmatis—mengajar untuk memenuhi jam kerja—tanpa melibatkan diri dalam pengembangan ilmu pengetahuan melalui membaca atau menulis.

Sertifikasi guru yang semula bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme pendidik, seharusnya bukan hanya terfokus pada pemberian tunjangan finansial, tetapi harus mencakup perubahan fundamental dalam cara mengajar dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, kenyataannya, banyak guru yang menjadikan sertifikasi sebagai formalitas administratif semata. Program sertifikasi yang seharusnya mendorong guru untuk lebih produktif secara intelektual, justru berisiko mengubahnya menjadi sebuah rutinitas administratif yang tidak mendalam. Tunjangan profesi, alih-alih mendorong guru untuk menggali lebih dalam tentang pendidikan, sering kali hanya berfokus pada pencapaian status sosial atau materi, bukan pada kualitas pengajaran atau kontribusi terhadap dunia pendidikan.

Sertifikasi guru seharusnya lebih dari sekadar jalan untuk kesejahteraan ekonomi. Guru harus dilibatkan dalam pengembangan ilmu pengetahuan melalui membaca, menulis, dan berkontribusi pada pemikiran kritis tentang pendidikan. Tunjangan profesi yang diterima harus sebanding dengan peningkatan kualitas pengajaran dan pengembangan diri guru. Profesionalisme guru seharusnya tidak hanya diukur dari aspek finansial, tetapi juga dari komitmen mereka untuk terus mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas pendidikan yang mereka berikan kepada generasi mendatang.

Jika kita menginginkan perubahan yang signifikan dalam dunia pendidikan, maka sertifikasi guru harus dipandang lebih dari sekadar mekanisme untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Sertifikasi harus menjadi pendorong bagi guru untuk memperbaiki kualitas diri mereka, mengembangkan wawasan, dan berperan aktif dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Pemerintah dan pihak-pihak terkait perlu memastikan bahwa sertifikasi guru tidak hanya berfungsi sebagai formalitas administratif yang mengarah pada kesejahteraan finansial, tetapi juga sebagai langkah penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang sesungguhnya. Hanya dengan begitu, pendidikan di Indonesia akan mencapai tujuannya untuk mencetak generasi yang lebih cerdas dan berintegritas. Jayalah Pendidikan Indonesia

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Guru: Riwayatmu Kini – Antara Harapan dan Realitas"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel