Menjadi Keren dan Jaga Gengsi dengan Bahasa Asing? (Respons atas Permendikdasmen No. 2 Tahun 2025)
Jamal Passalowongi
Pegiat Literasi Kab. Barru
Saya membuka tulisan ini dengan sebuah kisah jenaka namun menyentil dari pengalaman pribadi. Suatu hari, saya mendapat undangan dari Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan untuk menghadiri acara di Dinas Pendidikan Kabupaten Barru. Acara tersebut dihadiri oleh sekitar 30 orang, terdiri dari guru dan pejabat dinas dari berbagai wilayah di kabupaten ini.
Dalam sambutannya, panitia Balai Bahasa menyatakan bahwa Barru termasuk kabupaten yang “terpilih” untuk kegiatan ini, yakni sosialisasi penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik. Tentu saja, kami merasa bangga. Tepuk tangan menggema, dan dalam sambutannya, salah satu pejabat daerah bahkan mengapresiasi Balai Bahasa atas “penghargaan” ini.
Namun, euforia itu tidak bertahan lama. Ketika salah satu narasumber memulai pemaparannya, suasana menjadi hening. Ternyata, alasan sesungguhnya Kabupaten Barru "terpilih" adalah karena tingginya penggunaan bahasa asing di ruang publik, terutama bahasa Inggris. Balai Bahasa telah melakukan survei dan menemukan bahwa kata-kata seperti Islamic Centre, Barber Shop, Café, dan berbagai nama tempat berbahasa Inggris lainnya tersebar luas di Barru.
Seketika, tepuk tangan berubah menjadi helaan napas panjang. Kami mafhum. Realitas ini menampar kami: penggunaan bahasa asing di ruang publik ternyata sudah menjadi tren yang tak disadari. Padahal, kata-kata tersebut memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, bahkan dalam bahasa daerah Bugis. Sayangnya, kita lebih memilih kata asing demi gengsi, demi terlihat “keren”.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ada beberapa faktor yang mendasarinya. Pertama, sosialisasi mengenai penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik masih minim dan tidak berkelanjutan. Sejak kegiatan yang saya ikuti pada 2019 itu, belum pernah ada kegiatan serupa yang dilakukan ulang, apalagi ditindaklanjuti. Padahal, peserta kegiatan tersebut terdiri dari pihak-pihak yang punya kuasa untuk menggerakkan perubahan di instansi masing-masing.
Kedua, masyarakat belum memiliki panutan yang baik. Para pejabat pun, seringkali menjadi contoh buruk karena turut mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing dalam komunikasi resmi. Inilah yang memperkuat asumsi bahwa bahasa asing adalah simbol prestise. Maka, tidak heran jika masyarakat mengikuti jejak tersebut.
Jika pemerintah sendiri tidak
konsisten dan para pejabat tidak memberi teladan, bagaimana mungkin masyarakat
umum akan peduli? Apa yang terjadi saat ini bukan hanya kegagalan komunikasi,
tetapi kegagalan komitmen terhadap bahasa nasional.
Kini telah terbit Permendikdasmen
No. 2 Tahun 2025 tentang Pedoman Pengawasan Penggunaan Bahasa Indonesia.
Aturannya jelas: bahasa Indonesia wajib digunakan pada dokumen resmi, rambu
umum, penunjuk jalan, fasilitas publik, spanduk, hingga alat komunikasi
lainnya. Masyarakat bahkan diberi ruang untuk melaporkan pelanggaran.
Jika melihat ke belakang sebenarnya
sudah ada beberapa peraturan yang terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia di
tempat umum atau ruang publik, bahkan ada Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tantang Penggunaan Bahasa
Indonesia dan Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pengutamaan Bahasa Negara di Ruang Publik
Namun, regulasi tidak akan berguna jika tidak disertai pemahaman dan partisipasi. Siapa yang akan melapor jika mereka sendiri tak tahu mana penggunaan yang benar dan mana yang keliru? Dan apa sanksi yang diberikan bila pelanggaran terjadi? Apakah regulasi ini akan menjadi harimau tanpa taring?
Jika kita mengacu pada teori aset
sebagai kekuatan, kita sesungguhnya memiliki alat perubahan: media. Dahulu,
kata seperti “antre” dan “malapraktik” terdengar janggal. Namun media
massa—televisi, koran, radio—mampu mengubah persepsi publik. Maka kini, media
bisa pula menjadi ujung tombak pemulihan bahasa di ruang publik.
Tetapi, perjuangan ini tidak bisa
diserahkan semata kepada pemerintah atau media. Pertanyaan mendasarnya adalah: apakah
kita bersedia mengubah cara pandang terhadap bahasa sendiri? Apakah kita
siap berhenti menyamakan bahasa asing dengan kemajuan, dan melihat bahwa
martabat bangsa terletak pada penghargaan terhadap bahasanya sendiri?
Bahasa bukan sekadar alat
komunikasi. Ia adalah penanda kultural, identitas kolektif, dan simbol
kemerdekaan berpikir. Ketika kita membiarkan bahasa Indonesia tersisih di ruang
publik, kita tengah membiarkan identitas kita dikikis perlahan.
Permen boleh diterbitkan, aturan
boleh dibuat, tetapi perubahan sejati dimulai dari satu tempat yang paling
sederhana: diri sendiri. Saat ini juga. Karena bila bukan kita yang
menjaga marwah bahasa Indonesia, siapa lagi?
Wallahu a’lam bishawab.
0 Response to "Menjadi Keren dan Jaga Gengsi dengan Bahasa Asing? (Respons atas Permendikdasmen No. 2 Tahun 2025)"
Posting Komentar