Literasi Barru: Membangkitkan Bara yang Hampir Padam.
“Inilah gerakan tak bergedrang berpalu kepercayaan tanda menyerbu.” (Potongan puisi Diponegoro oleh Chairil Anwar)
Saya kutip bait itu untuk membuka tulisan ini, karena ia mewakili semangat sunyi namun menyala dari gerakan literasi yang pernah kita tabuh di Barru, tepatnya sepuluh tahun silam. Sebuah momentum yang kini mulai kabur dari ingatan banyak orang, namun masih membekas di benak sebagian kecil dari kita yang pernah hadir—sebagai saksi, penggerak, atau bahkan sekadar penghayat.
Kala itu, Dinas Pendidikan Kabupaten Barru menggelar tudang sipulung penulis, diprakarsai oleh Dr. H. Kamaruddin Hasan (waktu itu sekretaris dinas) bersama almarhum Badaruddin Amir. Pertemuan ini adalah upaya awal menyemai benih gerakan literasi di daerah, menyatukan energi dan pikiran sejumlah guru-penulis dengan harapan terciptanya gelombang literasi yang berkesinambungan. Saya masih ingat betul karena turut hadir sebagai inisiator dan mengundang Sulhan Yusuf Daeng Litere , salah satu pentolan-tokoh literasi Sulawesi Selatan.
Namun, jika hari ini kita menengok ke belakang dan mengevaluasi gerakan itu, ada satu pertanyaan mendasar: apa yang tersisa dari semangat yang pernah kita bangun bersama?
Dalam studi gerakan sosial, dikenal tiga fase: kemunculan (emergence), penggabungan (coalescence), dan formalisasi (bureaucratization). Fase pertama kita lampaui—kesadaran kolektif itu nyata. Mereka yang hadir dalam tudang sipulung punya kesadaran dan gairah yang sama tentang pentingnya literasi.
Namun fase kedua—penggabungan kekuatan lintas sektor—gagal dijalankan. Perlu diakui, yang hadir waktu itu mayoritas guru atau pegiat literasi dari kalangan pendidikan formal. Tidak ada representasi nyata dari komunitas literasi akar rumput. Padahal, gerakan sejati butuh sinergi antara negara, masyarakat sipil, dan individu-individu kreatif di luar struktur birokrasi.
Fase ketiga—formalisasi gerakan—nyaris tak terbentuk. Tidak ada struktur, tidak ada kelanjutan agenda, bahkan tidak ada tudang sipulung berikutnya. Dinas yang sempat menjadi inisiator kehilangan daya dorong. Gerakan ini pun perlahan tenggelam dalam kesibukan administratif yang tak berpihak pada kreativitas.
Namun, sejarah tak melulu bicara tentang kegagalan. Pascapertemuan itu, muncul geliat kecil dari akar. Perpustakaan Iqra dan berdirinya Agupena Barru menjadi titik balik penting. Mereka tak bergerak di jalur struktural, tapi menyusup lewat jalur kultural. Buktinya, antara 2018–2019, sekitar 40 anggota Agupena berhasil menerbitkan buku—sebuah pencapaian yang tidak bisa dianggap remeh.
Sayangnya, geliat ini pun kini berada dalam posisi stagnan. La yamutu wala yahya—hidup segan, mati pun tak mau. Inilah potret gerakan literasi di Barru pasca satu dekade: semangat yang pernah menyala, kini tinggal bara dalam abu.
Gerakan literasi butuh lebih dari sekadar niat baik dan pertemuan formal. Ia butuh keberlanjutan, struktur, dan jejaring yang kokoh. Tanpa itu, semua akan kembali menjadi nostalgia belaka. Dan seperti bait Chairil tadi, kita hanya akan menjadi gerakan “tak bergedrang” yang nyaris tak dikenali oleh zaman yang terus melaju.
Wallahu a'lam.
0 Response to "Literasi Barru: Membangkitkan Bara yang Hampir Padam."
Posting Komentar