Tsundoku: Antara Hasrat Intelektual dan Ilusi Literasi
Pernahkah kita berkunjung ke rumah seorang teman, lalu terpukau melihat deretan buku tersusun rapi di rak-raknya? Buku-buku baru, bersampul tebal, berjudul menggoda, namun dengan halaman-halaman yang masih perawan—belum tersentuh jari pembaca. Inilah fenomena yang dikenal dalam bahasa Jepang sebagai tsundoku: kebiasaan membeli buku, namun tidak pernah (atau belum) membacanya.
Tsundoku bukan sekadar perilaku konsumtif biasa. Ia adalah paradoks: di satu sisi, mencerminkan kecintaan terhadap ilmu dan bacaan; di sisi lain, mengindikasikan kegagalan dalam mewujudkan niat menjadi tindakan. Kita membeli buku karena ingin menjadi pribadi yang lebih kaya secara intelektual, namun sering kali berhenti pada euforia kepemilikan, bukan pemahaman. Buku-buku itu menjadi simbol ambisi, bukan alat perubahan.
Mengapa tsundoku begitu umum? Sebagian besar dari kita percaya bahwa membaca butuh suasana khusus: ruang yang tenang, waktu yang panjang, atau mood yang tepat. Padahal, justru inilah kesalahan berpikir yang paling mendasar. Membaca bukan soal menunggu momen ideal, melainkan soal konsistensi. Membaca bisa dimulai dari waktu-waktu sisa: 10–15 menit sebelum tidur, saat menunggu antrean, atau sambil menyeruput kopi pagi. Yang dibutuhkan bukan waktu lapang, tapi tekad yang teguh.
Untuk melawan tsundoku, kita perlu strategi. Buat prioritas bacaan—pilih buku yang benar-benar relevan dan menarik minat saat ini. Tetapkan jadwal membaca harian, meski singkat. Catat progres membaca dalam jurnal. Dan yang tak kalah penting: biasakan menulis—meskipun singkat—tentang apa yang sudah dibaca. Sebab menulis memaksa kita benar-benar memahami, bukan sekadar menatap halaman.
Kebiasaan tsundoku memang manusiawi, apalagi di tengah banjir informasi dan godaan diskon buku. Tapi jika dibiarkan, rak buku kita akan berubah menjadi museum ambisi yang tak pernah diwujudkan. Jangan biarkan pengetahuan berdebu di rak—hidupkan ia dalam pikiran, tulisan, dan tindakan.
Lihat insight
0 Response to "Tsundoku: Antara Hasrat Intelektual dan Ilusi Literasi"
Posting Komentar