"Tanah yang Menunggu: Kisah Perjalanan dan Perpisahan" - JAMAL PASSALOWONGI -->

"Tanah yang Menunggu: Kisah Perjalanan dan Perpisahan"

 


Imajinasi perjalanan dari Yunan Cina Selatan ke tanah Bugis 500 SM

Lin dan Mei berdiri di tepian kapal, memandang laut yang tak berujung. Ombak besar mengguncang perahu kecil mereka, membuat mereka bergantung pada keseimbangan yang rapuh. Di sekitar mereka, dua puluh orang berdesakan, berusaha bertahan di tengah dinginnya udara laut yang menusuk tubuh.

Kapal yang mereka tumpangi terbuat dari kayu jati yang sangat kokoh, terkenal karena kekuatan dan ketahanannya terhadap cuaca laut yang keras. Kayu jati berwarna coklat kemerahan yang mengkilap, dengan serat-serat yang tampak jelas dan rapat, memberikan kesan kokoh dan stabil. Bagian dasar kapal dilapisi dengan papan kayu jati yang tebal, disusun rapi untuk memberikan daya tahan ekstra terhadap hantaman ombak yang besar. Dinding kapal juga dibuat dari kayu yang sama, disusun rapat dan diikat menggunakan tali rotan yang sangat kuat. Ikatan-ikatan ini dilakukan dengan ketelitian tinggi, menjamin kapal tidak akan terbelah meskipun terhantam badai.

Pada setiap sambungan, terlihat kayu-kayu kecil yang dipakukan dengan paku tembaga, menambah kekuatan dan stabilitas kapal. Di beberapa bagian yang lebih vital, seperti di sekitar lambung, terdapat lapisan tambahan dari lem yang terbuat dari getah pohon yang dipanaskan, menambah daya rekat dan menahan air laut agar tidak meresap ke dalam kayu. Di sepanjang sisi kapal, terlihat ikatan yang terbuat dari kulit pohon yang diolah, memberi kesan tradisional namun sangat efektif untuk menjaga ketahanan struktur kapal.

Dengan bentuk yang memanjang dan agak ramping, kapal ini dirancang untuk dapat melaju dengan baik di tengah arus laut yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kapal itu tampak sederhana, kekuatan material dan desain yang teliti memberikan keyakinan bagi penumpangnya bahwa mereka bisa menghadapi kerasnya lautan dan menuju daratan yang belum mereka kenal.

---

Lin menoleh ke arah tetua yang berdiri dengan tenang di ujung perahu. Wajahnya yang keriput menunjukkan kebijaksanaan, tetapi tidak ada ekspresi pun yang memberi jawaban atas kegelisahan yang membalut hati Lin.

"Ke mana sebenarnya kita pergi?" tanya Lin dengan suara pelan, meskipun takut jika suara angin akan menenggelamkan kata-katanya.

Tetua itu hanya mengusap janggut putihnya, lalu dengan tenang menunjuk ke depan, ke arah cakrawala yang kabur oleh kabut laut. "Semua sudah sesuai dengan perintah dewa. Kami mengikuti petunjuk yang diberikan lewat tulang dan batu yang dilemparkan ke api," jawabnya, suaranya berat dan dalam, seolah-olah berasal dari dalam bumi.

Mei yang berdiri di samping Lin mendekat sambil berbisik dengan hati-hati. "Jangan bertanya lagi. Semua yang kita lakukan hari ini sudah seizin para tetua di negeri Youncin," bisiknya, mencoba menenangkan hati suaminya yang cemas.

Mei dan Lin terlihat seperti pasangan yang tangguh dan berani. Meskipun tubuh mereka tidak terlalu tinggi, keduanya memiliki postur yang tegap dan kuat, tubuh mereka dipenuhi otot-otot yang terbentuk karena kerja keras dan kehidupan yang penuh perjuangan. Kulit mereka berwarna putih, dengan sedikit rona kemerahan yang menambah kesan ketangguhan. Mata mereka, meskipun sedikit sipit, memancarkan ketegasan dan kecerdikan. Pandangan mereka tajam, selalu waspada terhadap situasi di sekitar mereka.

Mei mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit binatang yang telah diolah dan dijahit dengan tangan yang terampil. Kulit berwarna coklat kekuningan itu melapisi tubuhnya dengan sempurna, memberikan perlindungan dari angin dan hujan. Bagian atas tubuhnya ditutupi dengan pelindung dari kulit yang dirajut dengan kuat, memberikan keleluasaan dalam bergerak sekaligus menjaga tubuh tetap hangat di tengah dinginnya perjalanan. Pada bagian pinggangnya, diikat tali kulit yang digunakan untuk menggantungkan beberapa peralatan penting seperti pisau atau kantong kecil.

Lin tidak jauh berbeda, mengenakan pakaian serupa, dengan kulit binatang yang lebih gelap dan sedikit lebih kasar. Pakaian bagian atasnya terbuka di beberapa bagian, menonjolkan tubuh kekarnya dan tulang yang kuat, namun tetap praktis untuk pergerakan cepat. Kulit pelindung di bahunya lebih tebal, memberi kesan bahwa ia siap menghadapi pertempuran jika diperlukan. Seperti Mei, Lin juga memakai ikat pinggang kulit, tempat ia menggantungkan beberapa peralatan bertahan hidup.

Di tangan mereka masing-masing, mereka memegang tombak yang panjang dan kokoh, yang dibuat dengan hati-hati dari kayu keras dan ujungnya dilengkapi dengan logam tajam. Tombak ini bukan hanya senjata, tetapi juga simbol kekuatan dan ketangguhan mereka dalam menghadapi segala tantangan. Mei memegang tombaknya dengan penuh keyakinan, siap jika sewaktu-waktu harus bertindak cepat. Begitu juga Lin, yang memegang tombaknya dengan tangan terlatih dan penuh konsentrasi, menunjukkan bahwa mereka berdua tidak hanya pemimpin, tetapi juga pejuang yang mampu melindungi kelompok mereka.

Rambut mereka, meskipun lurus dan gelap, diikat rapi dengan tali sederhana, memudahkan mereka bergerak bebas tanpa gangguan dari rambut yang tergerai. Mereka berdua, meskipun terlihat sederhana dalam pakaian kulit binatang dan peralatan mereka yang tampak kasar, memiliki aura kepemimpinan yang kuat dan keberanian yang tak tergoyahkan.

---

Beberapa hari berlalu, ombak terus mengguncang perahu mereka. Keadaan semakin berat, dan meskipun semua orang berusaha untuk tetap tegar, dua orang telah gugur dalam perjalanan ini. Sekarang, hanya tersisa delapan belas orang di kapal itu. Lin dan Mei, meskipun merasa putus asa, berusaha menguatkan yang lain.

"Percayalah, kita akan sampai ke tujuan," kata Lin kepada mereka, meskipun dirinya sendiri mulai meragukan kata-katanya. "Kita harus percaya bahwa ini adalah jalan yang benar."

Pada pagi yang kelima, salah seorang dari mereka yang menjaga pandangan di dek berteriak, "Ada daratan!"

Lin dan Mei segera berlari keluar, dan benar, di kejauhan, mereka melihat daratan yang tampak seperti sebuah pulau besar. Mereka melangkah ke depan, semangat mereka kembali menyala.

"Ke sana! Kita menuju ke sana!" teriak Lin, dan semuanya mulai bergerak menuju daratan yang terlihat semakin dekat.

Ketika perahu merapat di pantai, beberapa orang segera turun untuk menarik dan menambatkan kapal. Daratan itu sangat luas dan belum pernah mereka lihat sebelumnya. Tumbuhan yang ada di sana tampak sangat berbeda dengan yang mereka kenal di Youncin. Semuanya tampak asing, tetapi juga menjanjikan.

Lin dan Mei berdiri di tepi pantai, melihat kelompok mereka yang mulai turun. Mereka merasa lega, tetapi juga cemas. "Inilah tanah baru yang kami cari," kata Mei, suaminya.

Selama sepuluh tahun terakhir, negeri mereka, Youncin, semakin sesak. Tanah sudah tidak cukup untuk menampung semua orang. Tumbuhan pun hampir punah, dan rumah-rumah sudah berjubel di mana-mana. Oleh karena itu, para tetua memilih dua puluh orang yang dianggap layak untuk mencari tanah baru demi kelangsungan hidup mereka. Lin dan Mei adalah bagian dari kelompok terpilih itu.

"Ini adalah kesempatan untuk memulai yang baru," kata Lin dengan semangat, meskipun ia tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Sekarang, tantangan berikutnya adalah bertahan hidup di tempat yang tidak mereka kenal.

Mereka mulai bekerja keras membangun rumah dari dedaunan yang ada di sekitar pulau. Semua orang membantu dengan semangat, tetapi sementara itu, beberapa orang tua mulai melakukan persembahan kepada dewa, membuat api besar dan membakar dupa sebagai ungkapan syukur.

Setelah beberapa minggu, tanah itu terbukti subur. Tanaman mulai tumbuh, dan mereka mulai bercocok tanam dengan hasil yang menggembirakan. Kehidupan baru di pulau itu dimulai dengan penuh harapan.

Namun, seiring waktu, ketegangan mulai muncul di antara kelompok itu. Ada beberapa orang yang merasa tidak puas dengan cara Mei dan Lin membagi tanah. Mereka menganggap bahwa mereka yang lebih tua atau lebih berpengalaman seharusnya mendapat bagian yang lebih besar. Ketegangan ini memuncak saat lima orang memutuskan untuk pergi ke utara, meninggalkan kelompok tersebut.

"Apakah kalian benar-benar akan pergi?" tanya Mei, mencoba menahan mereka.

"Saya dan keluarga kami tidak setuju dengan cara kalian memimpin. Kami ingin mencari tempat yang lebih baik di utara," jawab salah satu dari mereka dengan keras.

"Jangan pergi," kata Lin dengan penuh penyesalan. "Kita semua harus bersama di sini. Tanah ini cukup untuk kita semua."

Namun, kelima orang itu sudah mengambil keputusan mereka. Mereka meninggalkan kelompok tersebut, berjalan ke arah utara dengan harapan menemukan tempat yang lebih baik.

Lin dan Mei berdiri di tempat yang sama, menyaksikan kelompok yang semakin berkurang. "Mungkin ini memang takdir," kata Lin pelan. "Kita tidak bisa memaksa semua orang untuk tinggal di sini."

"Ya," jawab Mei dengan lirih. "Kita harus tetap melanjutkan hidup kita, membangun kehidupan baru dengan yang kita miliki."

Ketegangan itu menjadi bagian dari sejarah pulau ini. Tanah baru yang mereka temukan tetap menjadi tempat yang penuh tantangan dan harapan. Dengan tekad dan kerja keras, Lin dan Mei memimpin kelompok mereka membangun sebuah peradaban baru di pulau yang tidak diketahui namanya.

Meskipun ada perbedaan dan perpisahan, kehidupan terus berjalan. Dan di utara, kelompok yang berpisah itu mulai membangun kehidupan mereka sendiri, menjadi orang-orang pertama yang menempati tanah baru yang tak terjamah sebelumnya—sebuah babak baru dalam sejarah Nusantara-Sulawesi Selatan.

 


Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to ""Tanah yang Menunggu: Kisah Perjalanan dan Perpisahan""

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel