Peringatan Hari Bumi: Antara Seremoni dan Tanggung Jawab Nyata? - JAMAL PASSALOWONGI -->

Peringatan Hari Bumi: Antara Seremoni dan Tanggung Jawab Nyata?


 

Oleh Jamal Passalowongi (Pegiat Literasi Kab. Barru)

Tahukah Anda bahwa ada lebih dari 100 hari peringatan internasional dalam setahun? Mulai dari Hari Kanker Sedunia, Hari Perempuan, Hari Air, hingga Hari Lingkungan Hidup. Di antara itu semua, Hari Bumi yang kita peringati setiap tanggal 22 April seharusnya menjadi momentum refleksi paling penting—bukan hanya karena simbolismenya, tetapi karena kondisi bumi hari ini benar-benar sedang sakit.

Hari Bumi pertama kali digagas oleh Senator Amerika Serikat, Gaylord Nelson, pada tahun 1970, sebagai bentuk keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan akibat tumpahan minyak di Santa Barbara pada tahun 1969. Bersama aktivis lingkungan Denis Hayes, ia mengorganisir peringatan Hari Bumi yang pertama. Kini, lebih dari 190 negara, termasuk Indonesia, rutin merayakan momen ini setiap tahun. Namun, pertanyaannya: apakah yang kita lakukan sekadar memperingati atau benar-benar bertindak?

Jika ada negara yang seharusnya paling vokal bicara soal penyelamatan bumi, maka Indonesia adalah kandidat utama. Sebagai rumah bagi hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia sering dijuluki "paru-paru dunia"—julukan yang tak main-main. Hutan-hutan kita adalah penghasil oksigen, penyerap karbon, penyeimbang iklim global. Namun realitasnya, kita justru semakin kehilangan fungsi vital itu.

Laporan Global Forest Watch menunjukkan bahwa dari tahun 2021 hingga 2022, sekitar 800.000 hingga 900.000 hektare hutan Indonesia ditebang, kebanyakan untuk ekspansi perkebunan, pemukiman, dan pertambangan—yang sebagian besar dilakukan oleh korporasi besar. Pada tahun 2023, angka itu melonjak: 1,4 juta hektare hutan lenyap. Ironisnya, Indonesia yang pernah dibanggakan sebagai paru-paru dunia kini justru menjadi penyumbang besar kerusakan lingkungan global.

Ini bukan hanya soal data statistik. Ini tentang masa depan kita. Tentang bencana ekologis yang perlahan menghampiri: banjir, tanah longsor, krisis air, hingga meningkatnya suhu ekstrem. Sementara itu, sebagian masyarakat kita tampak masih abai. Jika tolak ukurnya adalah seberapa banyak orang membicarakan Hari Bumi di media sosial, maka kesadaran ekologis kita bisa dibilang masih rendah.

Lebih menyedihkan lagi, kepedulian kita sering kali bersifat struktural—bergerak hanya jika ada instruksi dari atas. Oleh sebab itu, kebijakan seperti penanaman pohon serentak di seluruh wilayah Sulawesi Selatan oleh pemerintah provinsi patut diapresiasi. Apalagi kegiatan tersebut melibatkan siswa sekolah. Ini bukan hanya tentang menanam pohon, tetapi juga menanam kesadaran dan kepedulian ekologis sejak dini. Karena kita harus menyadari: hilangnya pohon bukan sekadar hilangnya pemandangan hijau, tapi hilangnya masa depan umat manusia.

Al-Qur'an dalam Surah Ar-Rum ayat 41 telah mengingatkan bahwa kerusakan di daratan dan lautan adalah akibat ulah tangan manusia. Peringatan itu sudah sangat jelas, namun sering kali diabaikan. Maka dari itu, Hari Bumi seharusnya bukan hanya seremoni tahunan yang penuh slogan dan kampanye kosong. Ia harus menjadi pemicu aksi nyata dan komitmen berkelanjutan.

Karena menyelamatkan bumi bukanlah tugas pemerintah saja. Ini adalah tanggung jawab kolektif kita semua—sebagai manusia, sebagai warga dunia, sebagai penghuni planet yang sama

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Peringatan Hari Bumi: Antara Seremoni dan Tanggung Jawab Nyata?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel