Rumah Sakit dan Laskar yang Terlupakan - JAMAL PASSALOWONGI -->

Rumah Sakit dan Laskar yang Terlupakan

 


Jika ingin melihat wajah manusia yang sebenarnya, datanglah ke rumah sakit. Di sanalah kita bisa menyaksikan sisi paling rapuh dari kehidupan—bukan hanya raga yang melemah, tapi juga cerita-cerita besar yang perlahan terlupakan. Saya baru menyadari hal ini saat suatu hari harus mengantre di bagian penganbilan darah dan rotgen. Saat melihat sekeliling sy baru menyadari bahwa antrean itu bukan sekadar baris-baris orang menunggu giliran, melainkan parade dari masa lalu yang pernah berjaya.

Kursi tunggu itu menjadi tempat saya duduk bersisian dengan seorang kakek berbaju safari lusuh yang dengan ramah menyilakan saya duduk. Diapit oleh orang-orang tua, saya merasa asing dan sedikit malu.

Saya menjadi pendengar pasif saat salah seorang dari mereka kemudian mulai berbicara dengan orng tua lainnya sambil menunjuk beberapa org yg sedang antre—bukan tentang penyakitnya, tapi tentang siapa-siapa yang duduk di antrean itu. Di sanalah mata saya terbuka ternyata ada mantan pejabat, kini sakit-sakitan, tuli dan harus dibantu alat dengar. Pensiunan pejabat lainnya kini dua kali operasi jantung menunggu cuci darah 2 kali seminggu. Dan seterusnya, satu per satu mereka ternyata adalah tokoh-tokoh masa lalu yang dahulu sangat dihormati, kini menjadi bagian dari antrean panjang menunggu giliran bertemu dokter.

Mereka bukan orang biasa. Mereka adalah laskar-laskar tua yang dahulu berdiri di garda depan pembangunan provinsi ini. Kini mereka menua dalam senyap, kadang terasa seperti tak berguna, tapi sebenarnya menyimpan jejak-jejak sejarah yang layak dikenang. Saya mulai bertanya-tanya, apakah kita, generasi sekarang, akan dikenang seperti mereka? Ataukah kita hanya akan menjadi statistik pasien dengan penyakit gaya hidup?

Baca Juga

Ada satu figur yang membekas di hati saya hari itu: seorang pensiunan guru di antara semua yang lain, ia terlihat paling bugar, walau tubuhnya mulai rapuh dimakan usia. Ia bercerita tentang hidupnya yang sederhana, dedikasinya sebagai guru selama 35 tahun, dan bagaimana hidup tanpa banyak tuntutan membuat pikirannya selalu tenang. Tidak ada penyakit berat yang dideritanya, hanya “penyakit tua” biasa. Saya kagum, dan sekaligus merasa malu.

Dalam hati saya menyimpulkan, mungkin inilah yang membedakan generasi mereka dan kita. Mereka hidup dalam ritme yang lebih tenang, menghadapi tantangan dengan kedewasaan. Anak-anak yang mereka didik dulu tidak terbebani oleh gawai, konten digital yang tak terkendali, dan tekanan media sosial. Guru dihormati, bukan dilaporkan. Didikan mereka membawa ketenangan, bukan stres. Mungkin itu sebabnya tubuh mereka masih sanggup bertahan meski usia tak lagi muda.

Pelajaran besar yang saya bawa pulang dari rumah sakit hari itu bukan dari dokter atau obat-obatan. Tapi dari percakapan, dari cerita-cerita hidup yang tertanam dalam kursi tunggu itu. Bahwa sehebat apa pun kita hari ini, ketika kesehatan diambil, kita semua akan tunduk sama rata di hadapan kenyataan. Dan bahwa penyakit tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam—dari pikiran yang kusut dan perasaan yang keruh.

Saya keluar dari rumah sakit dengan langkah lebih ringan, meski obat masih utuh di tangan. Saya sadar, rumah sakit kali ini telah menyembuhkan saya dengan cara yang berbeda: melalui perenungan. Bahwa hidup bukan tentang seberapa tinggi jabatan atau kerasnya kita bekerja, tapi tentang bagaimana kita menjaga hati dan pikiran agar tetap waras dalam dunia yang kian gila.

Related Posts

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Rumah Sakit dan Laskar yang Terlupakan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel