Jagalah Perempuanmu: Sebuah Seruan dari Selasar Rumah Sakit
Dua bulan terakhir, saya mendampingi ibu yang harus menjalani kuret karena indikasi mola. Dalam proses itu, saya berkali-kali menyaksikan pemandangan yang tak mudah dilupakan: deretan perempuan dari berbagai usia duduk berjam-jam di selasar rumah sakit, menunggu giliran untuk menjalani pengobatan penyakit reproduksi seperti kanker serviks, endometriosis, mioma, kanker payudara dan berbagai varian lainnya.
Wajah-wajah mereka lelah. Beberapa sendu, sebagian pasrah. Ada yang masih bisa berbicara saling menguatkan, ada pula yang hanya diam sambil memegang perut atau panggul yang nyeri. Mereka datang bukan hanya dari kota, tapi juga dari desa-desa jauh, dengan harapan sederhana: sembuh.
Di antara mereka, ada yang harus menjalani kemoterapi sampai 35 kali, pendarahan dahsyat sampai harus transfusi darah 11 -15 kantong darah. Mereka menerima vonis itu dengan senyum kecut, seolah sudah berdamai dengan takdir. Tapi dalam hati kecil saya, terasa jelas: penderitaan ini seharusnya bisa dicegah. Bisa diminimalisir jika ada perhatian lebih sejak dini.
Saya tidak perlu menceritakan kasus-kasus lainnya yg saya wawancarai atau mendengar kisah-kisah saat mereka saling berbagi. Sebagian besar memilukan dan memukul perasaan terdalam saya sebagai laki-laki, suami, dan orang tua yg memiliki perempuan.
Penyakit-penyakit ini nyata. Dan mereka lebih sering mengincar perempuan, tidak peduli usianya.
Sayangnya, masih banyak keluarga, terutama para lelaki—suami, ayah, kakak, bahkan anak laki-laki—yang tidak menyadari bahwa menjaga kesehatan perempuan bukan hanya tanggung jawab si perempuan sendiri. Ini adalah tanggung jawab bersama.
Keluarga yang memiliki anak perempuan, seharusnya peka sejak awal. Edukasi tentang kesehatan reproduksi bukan tabu, tapi kebutuhan. Pemeriksaan rutin, vaksinasi HPV, perhatian terhadap perubahan siklus menstruasi—itu semua bagian dari bentuk cinta.
Bagi para suami, lihatlah istrimu lebih dalam. Perhatikan keluhannya. Jangan abaikan rasa lelah atau nyeri yang ia rasakan. Dampingi ia memeriksakan diri, jangan biarkan ia sendirian menghadapi proses pengobatan yang panjang dan menyakitkan.
Penyebab penyakit ini bisa kompleks—dari genetik, infeksi, hingga gaya hidup. Tapi lebih dari itu, kehati-hatian dan kewaspadaan adalah kunci utama. Tidak menunda pemeriksaan. Tidak menganggap remeh gejala. Tidak membiarkan mereka melawan sendiri.
Saya menulis ini bukan dari hasil membaca buku atau jurnal. Saya menulis ini dari pandangan mata kepala sendiri. Dari lorong-lorong rumah sakit yang penuh harapan dan kesedihan. Dan dari rasa bersalah yang mendalam sebagai anak, sebagai suami, sebagai lelaki—karena baru sadar betapa rapuh dan kuatnya perempuan di saat yang bersamaan.
Maka, jagalah perempuanmu. Jadilah pelindungnya, bukan sekadar pencari nafkah. Jadilah pemimpin yang peka dan peduli, bukan hanya pembuat aturan. Karena di balik perempuan yang kuat, ada lelaki yang seharusnya selalu siap siaga untuk menjaganya dunia-akhirat.
0 Response to "Jagalah Perempuanmu: Sebuah Seruan dari Selasar Rumah Sakit"
Posting Komentar